MAKALAH
AYAT-AYAT TENTANG
MASYARAKAT
( SOSIOLOGI )
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : TAFSIR
Dosen Pengampu :
MAYADINA RAHMA
MUSFIROH, SHI., MA.
Disusun Oleh :
MUSYAFA’ AHMAD ( SEMESTER III )
INSTITUT ISLAM
NAHDLATUL 'ULAMA
( INISNU) JEPARA
FAKULTAS
TARBIYAH 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang membahas tentang tentang kemasyarakatan (sosiologis) . Secara
garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah
(hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas
(hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut
seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu
semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu
tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif.
Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.
Oleh karena itu kita harus memahami sejarah dan kisah orang-orang
terdahulu, sehingga kita dapat mempelajari dan mengambil hikma dari peristiwa
yang terjadi pada orang-orang setelah kita, sehingga kita dapat melangkah lebih
baik dari orang-orang setelah kita.
2. Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan
konsep sejarah dalam Al-Qur’an ?
2. Menjelaskan hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an ?
3. Menyebutkan gambaran beberapa kisah yang
diceritakan Al-Qur’an ?
4. Menjelaskan fungsi sejarah bagi kehidupan
manusia ?
AYAT-AYAT TENTANG
MASYARAKAT
Islam
adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena
Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran
terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling
komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci
al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi
insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
Secara
garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum
Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum
Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua
hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di
tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan
kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih
komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika
Islam dianggap sebagai agama transedental.
A. Surat
al-Ra’du ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ اللهَ
لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا
أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ
وَّالٍ
Artinya : Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan
dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah, sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Allah.
Ayat
ini menerangkan tentang kedhaliman manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan
bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tingkah
laku mereka sendiri. Kedzaliman dalam ayat ini sebagai tanda rusaknya
kemakmuran suatu bangsa.
لَهُ مُعَقِبَاتِ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْقِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ
Pada tiap manusia baik yang bersembunyi
ataupun yang nampak ada malaikat yang terus menerus bergantian memelihara dari
kemudharatan dan memperhatikan gerak gerik setiap manusia, sebagaimana
berganti-ganti pula malaikat yang lain yang mencatat segala amalannya, baik maupun
buruk. Ada malaikat malam dan ada malaikat siang, satu berada disebelah kiri
yang mencatat segala amal kejahatan dan satu disebelah kanan yang mencatat
segala amal kebajikan, dan dua malaikat bertugas memelihara dan mengawasi
manusia. Adapun malaikat yang dimaksud dalam ayat ini adalah malaikat Hafadzah.[1]
Adapun keempat malaikat itu tidak akan
terlepas dari kita, melainkan kita sedang dalam keadaan mempunyai hadats besar.
Sebagaimana dalam sabda Rasul :
اِنَّ مَعَكُمْ مَنْ
لاَيُقَارِقُكُمْ عِنْدَالْخَلاَءِ وَعِنْدَالْجِمَاعِ فَاسْتَحْيُوْهُمْ
وَاَكْرَمَهُمْ.
“Sesungguhnya
ada malaikat-malaikat yang mengikuti kamu dan tidak terpisah dari kamu
melainkan disaat-saat kamu membuang hajat besar atau bersetubuh, maka di segani
dan hormatilah mereka.”[2]
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ
مَابِقَوْمٍ حَتَّى لاَيُغَيِّرُمَا بِأَنْفُسِهِمْ
Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada
suatu kaum berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga
mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah juga menyuruh kita
(umat-Nya) untuk mengubah suatu kedzaliman karena jika kita tidak merubahnya,
maka Allah akan memperluas siksaannya, sedangkan Allah menciptakan manusia di
bumi ini untuk menjadi penguasa (khalifah) yang bertugas memakmurkan dan
memanfaatkan segala isinya dengan baik bukan untuk merusaknya.[3]
وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ
سُوْءًا فَلاَ مُرَدَّالَهُ
Kita tidak patut dan tidak boleh meminta
kepada Allah agar keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan atau siksaan
sebelum pahala, karena jika Allah telah menghendaki dan menimpakannya kepada
mereka, maka tidak ada seorangpun yang dapat menolak takdir-Nya.
وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّلٍ
Tidak ada penolong bagi manusia seorangpun
yang dapat mengendalikan urusan mereka, dan tidak ada seorangpun pula yang
mampu mendatangkan kemanfataan atau menolak madharat selain Allah SWT.
Sebagaimana dalam Firman-Nya Surat al-Hajj ayat 73:
يَاَيُّهَاالنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ
فَاسْتَمِعُوْالَهُ اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ لَنْ
يَخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِاجْتَمَعُوْلَهُ وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الدُّبَابُ
شَيْئًا لاَيَسْتَنْقِذُهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ
“Hai
manusia, telah di buat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu,
sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu, amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah
yang disembah.”[4]
B. Surat al-Hujurat ayat 11-13
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ () يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ
الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ()
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ()
(11).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari
mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita
lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari wanita
yang mengolok-olok dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang
buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim. (12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya,
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (13) Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan adab-adab
(pekerti) yang harus berlaku diantara sesama mukmin, dan juga menjelaskan
beberapa fakta yang menambah kukuhnya persatuan umat Islam, yaitu:
a. Menjauhkan
diri dari berburuk sangka kepada yang lain.
b. Menahan
diri dari memata-matai keaiban orang lain.
c. Menahan
diri dari mencela dan menggunjing orang lain.
Dan dalam ayat ini juga, Allah menerangkan
bahwa semua manusia dari satu keturunan, maka kita tidak selayaknya menghina
saudaranya sendiri. Dan Allah juga menjelaskan bahwa dengan Allah menjadikan
kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan bergolong-golong tidak lain adalah agar
kita saling kenal dan saling menolong sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan
dan kesempurnaan jiwa itulah bahan-bahan kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita tidak boleh saling menghina diantara
sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh Allah sebagai peringatan dan nasehat
agar kita bersopan santun dalam pergaulan hidup kaum yang beriman. Dengan hal
ini berarti Allah melarang kita untuk mengolok-olok dan menghina orang lain,
baik dengan cara membeberkan keaiban, dengan mengejek ataupun menghina dengan
ucapan / isyarat, karena hal ini dapat menimbulkan kesalah-pahaman diantara
kita.
عَسَى اَنْ
يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah melarang kita menghina sesamanya karena
boleh jadi orang yang dihina itu lebih baik dan lebih mulia disisi Allah
kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ مِنْ نِسَاءِ عَسَى
اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan
dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kekhilafan yang ada
pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda Nabi:
الكِبْرُ بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ
النَاسِ
“Kesombongan
itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam penggalan ayat ini Allah melarang kita
mencela orang lain karena mencela orang lain sama saja mencela diri sendiri,
karena orang-orang mukmin itu bagaikan satu badan. firman Allah SWT yang
menerangkan tentang balasan bagi orang yang suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Neraka
wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah:
1)
Adapun dari arti هُمَزَةٍ yaitu
mencedera, yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu
mencela dengan mulut.[5]
وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ
Allah melarang kita memanggil orang lain
dengan gelaran-gelaran yang mengandung ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk
menjelekkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang
yang dihina itu telah bertaubat, tapi jika gelaran (panggilan) itu mengandung
pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu tidak di benci sebagaimana gelar yang
diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقَ
بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah melarang kita memanggil orang dengan
kata “fasik” setelah ia sebulan masuk Islam atau beriman.
Para ulama’ mengharamkan kita memanggil
seseorang dengan sebutan yang tidak di sukai.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Ayat ini di turunkan mengenai “Shafiyah binti
Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang mengadu kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang
lain mengatakan kepadanya. Hai orang Yahudi, hai anak dari orang Yahudi,
mendengar itu, Rasul berkata: mengapa kamu tidak menjawab: ayahku Harun,
pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad. Dalam ayat ini diterangkan bahwa
orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina orang lain tapi tidak bertaubat,
maka mereka termasuk orang dholim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam ayat ini Allah melarang bahkan
mengharamkan kita berprasangka buruk atau berfikiran negatif terhadap orang
yang secara lahiriyah tampak baik dan memegang amanat, atau kita tidak boleh
menfitnah seseorang, karena menfitnah itu bukan saja menyakiti seseorang dari
lahirnya saja tapi juga menyakiti bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمُ
Allah melarang kita berburuk sangka terhadap
orang lain karena sebagian dari buruk sangka itu dosa.
Prasangka adalah dosa, karena prasangka
adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan silaturahmi di antara
dua orang yang baik.
Dalam hal ini prasangka yang di larang adalah
prasangka buruk yang dapat menimbulkan tuduhan kepada orang lain, sedangkan
prasangka tentang perkiraan itu tidak di larang.
Sebagaimana terdapat dalam suatu hadits :
ثَلاَثٌ لَأَزِمَّاتٌ ِلأُمَتِّى :
الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ
“Tiga
macam membawa krisis bagi umatku, yaitu memandang kesialan, dengki, dan buruk
sangka”.[6]
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah melarang kita mencari-cari keaiban dan
menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika kita memata-matai seseorang atau musuh
agar tidak terjadi kejahatan, maka itu di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Allah melarang mencela orang di belakangnya
atau menggunjing tentang sesuatu yang tidak di sukainya.
Menurut para ulama’, mencela yang dibenarkan
adalah jika bertujuan untuk :
a. Untuk
mencari keadilan,
b. Untuk
menghilangkan kemungkaran,
c. Untuk
meminta fatwa atau mencari kebenaran,
d. Untuk
mencegah manusia berbuat salah,
e. Untuk
membeberkan orang yang tidak malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ
يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah melarang kita membicarakan keburukan
seseorang, karena hal itu sama halnya dengan makan bangkai saudaranya yang
busuk. Allah melarang hal ini karena perbuatan ini merupakan penghancuran
pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ
تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Dalam ayat ini Allah menyuruh kita bertaubat
dari kesalahan yang telah kita perbuat dengan di sertai penyesalan dan bertaubat
(taubat an-nasukha). Dalam ayat ini Allah juga memberitahukan bahwasanya
Allah senantiasa membuka pintu kasih sayangnya, membuka pintu selebar-lebarnya
dan menerima kedatangan para hambanya yang ingin bertaubat supaya menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا
خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى
Dalam ayat ini mengandung dua penafsiran,
yaitu :
a. Seluruh
manusia diciptakan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari
seorang perempuan, yaitu Hawa.
b. Segala
manusia sejak dulu sampai sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan
perempuan.
وَجَعَلْنَكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
Allah menjadikan manusia dari berbagai macam
suku dan bangsa agar kita saling mengenal. Ayat ini merupakan dasar demokrasi
yang benar di dalam Islam, dengan menghilangkan kasta dan perbedaan.
اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ
اَتْقَاكُمْ
Semua manusia di sisi Allah SWT itu sama,
yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Taqwa adalah suatu prinsip umum yang mencakup
takut kepada Allah dan mengerjakan apa yang diridhoinya yang melengkapi
kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati yang di anggap bernilai adalah
kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan pada Allah.
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Bahwasanya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan bahwa Allah adalah
sebaik-baiknya Sang Pencipta.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Setiap
manusia itu di jaga oleh 4 malaikat hafadhah dan bahwasanya Allah adalah
sebaik-baik penolong bagi kita.
2. Dalam hidup bermasyarakat
tidak boleh saling membedakan karena semua sama, tak ada yang beda disisi Allah
melainkan ketaqwaannya.
3. Setiap manusia itu pasti
punya kesalahan dan Allah maha penerima taubat hambanya sebelum sakaratul maut.
4. Allah tidak akan merubah
suatu kaum kecuali dia merubahnya dan Allah menyuruh kita untuk memberantas
kedzaliman.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustofa al Maraghi, Terjemah Tafsir
al-Maraghi, CV Toha Putra, Semarang, 1988.
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988.
H. Mukti Ali, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
PT Bumi Restu, Jakarta, 1974.
Prof. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah
(HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan Nurul islam, Surabaya, 1982
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur 5 (surat 42-114), PT Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2000, hlm 2074.
[2] H. Salim Bahreisy dan H.
Said Bahreisy, terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, PT Bina
Ilmu, Surabaya, 1988, hlm 431.
[3] Ahmad Mustofa al Maraghi,
Terjemah tafsir al-Maraghi, juz XIII, CV Toha Putra, Semarang, 1988, hlm
135.
[5] Prof. H. Abdul Malik Abdul
Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan Nurul Islam, Surabaya,
1982, hlm 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar