TASAWUF
Oleh :
H. SUBAIDI, S.Pd.I., M.Pd.
![]() |
|||
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL 'ULAMA
( INISNU) JEPARA
FAKULTAS TARBIYAH 2012 - 2013
AKHLAQ TASAWUF
PEMBAHASAN
AKHLAK
a. Pengertian Akhlak
Secara
etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq أخلاق
dalam bentuk jama’, sedang mufradnya adalah khuluq خلق Selanjutnya makna akhlak secara etimologis
akan dikupas lebih mendalam.
Kata khuluq
(bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fi’il madhi khalaqa yang dapat
mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada
mashdar yang digunakan. Ada beberapa kata Arab seakar
dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq
artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan
sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain menciptakan
sesuatu dari tiada. Dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah, sehingga
hanya Allahlah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq
sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24 هُوَ
اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ
dan QS. Yasin
ayat 81 yang berbunyi بَلَى وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ
Disamping itu
masih ada arti lain yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Mu’minun
ayat 14 فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ diartikan Maha
Suci Allah Sang Perekayasa yang terbaik, dan QS. Al-Ankabut ayat 17 yang
berbunyi وَتَخْلُقُونَ إِفْكاً
diartikan
... dan kalian mereka-reka bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa
ayat 119 فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّهِ diartikan ... maka mereka benar-benar
merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa ampe-hukum-Nya). Ketiga, rusak,
misalnya artinya memakaikan pakaian rusak. Arti lain yang amper mirip dengan al-khiluq
adalah kata khalaqa yang artinya bergaul dengan orang lain, seperti
ungkapan syair: خالق الناس
بخلق حسن لا تكن كلبا علي الناس يهرّ
(Artinya:
Pergaulilah orang lain dengan pergaulan yang baik, Jangan seperti anjing yang
menggonggongi orang). Kemudian kata al-khalaq yang diartikan bagian yang
baik, seperti disebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 102 مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ diartikan: Dan
tidak ada baginya bagian yang baik di akhirat (nanti).
Arti-arti di
atas mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang
diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat
dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian
dengan makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan
oleh si pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk
(qabih) tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq
itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq
itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu
pada pola hubungan dengan sesama manusia serta
makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang itu baik maka ia akan mendapatkan
kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya
kata al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan
perkataan al-khalaq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan
kata al-Khaliq yang berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti
yang diciptakan. Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk
dan antara makhluk dengan makhluk lainnya. Sehingga pola-pola
hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak.
Inilah ciri
khusus kata akhlak dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut perangai
manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara itu
dari sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah
akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan Al-Ghazali:
فالخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عن تصدر
الأفعال بسهولة و يسر من غير حاجة الى فكر ورؤية , فإن كانت الهيئة بحيث تصدر عنها
الأفعال الجميلة المحودة عقلا و شرعا سميت تلك الهيئة خلقا حسنا و ان كان الصادر
عنها الافعال القبيحة سميت تلك الهيئة التى
هى المصدر خلقا شيئا
Artinya: Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dari
padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji
menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang
muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian di
atas memberikan pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau
sifat yang terpatri dan meresap dalam jiwa sehingga si pelaku perbuatan
melakukan sesuatu itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena
seandaianya ada orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang
sekali untuk dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka
bukanlah orang tersebut dianggap dermawan sebagai pentulan kepribadiannya.
Sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan lagi.
Ibnu Maskawih
memberikan definisi senada mengenai istilah khuluq sebagai berikut :
الخلق حاال للنفس داعية لها إلى
أفعالها من غير فكر و رؤية Artinya: Khuluq ialah keadaan gerak
jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan
pemikiran.
Dijelaskan
pula oleh Ibnu Mskawaih bahwa keadaan gerak jwa tersebut meliputi dua hal. Yang
pertama, alamiah dan bertolak watak, seperti adanya orang yang mudah marah
hanya karena masalah yang sangat sepele, atau
tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang biasa saja, atau sedih
berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak terlalu memprihatinkan.
Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Pada awalnya keadaan
tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian menjadi
karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan
ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada
diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak
tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang
melekat dalam diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri
orang tersebut sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari bahkan menjadi adat kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad
Amin menyatakan : الخلق عادة الإرادة Artinya: Khuluq ialah
membiasakan kehendak.
Yang dimaksud
dengan ‘adah عادة ialah perbuatan yang dilakukan
berdasarkan kecenderungan hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan
pertimbangan yang rumit; sedangkan yang melakukan dengan iradah الإرادة ialah menangnya keinginan untuk
melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan
terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada
diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya
tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi,
melainkan secara langsung melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut.
Definisi yang terakhir ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan
secara rinci tentang pembiasaan kehendak. Dimana Zakki Mubarak menegaskan bahwa
arti kehendak itu adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia
ketahui yang sesuai dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan
yang akan datang.
Kembali pada
masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau pembawaan
sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani, dermawan dan
sebagainya, dan bias merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang kadang-kadang
sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang perbuatan yang akan
dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga sedikit demi sedikit
sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Dan memang harus diakui bahwa
manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada yang berwatak baik,
berwatak buruk dan ada pula yang berwatak diantara baik dan buruk. Watak-watak
tersebut turut menentukan bentuk akhlak seseorang disamping faktor pembiasaan
dan latihan tadi.
Dalam
pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan
akhlak, yakni istilah etika dan moral.
Berikut ini
akan dikupas pengertian etika dan moral.
1) Etika
Etika, seperti
halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah
lainnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu, ethos. Kata ethos
dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak perasaan, sikap dan cara
berpikir. Dalam bentuk jamak taetha artinya adalah adat kebiasaan. Dan
arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh
filosuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 sM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.
Jika dilihat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan
dengan membedakan tiga arti: 1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat, 2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak, 3) ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan secara unit beserta contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam
arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya etika Budha, etika Islam, Etika Nasrani dan
lain-lain. Secara singkat arti ini dapat
dirumuskan sebagai sistem nilai. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau
nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik.
Misalnya beberapa tahun yang lalu Departemen Kesehatan Republik Indonesia
menerbitkan sebuah kode etik untuk seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi
judul “Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI)”. Ketiga, etika mempunyai arti
sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau
buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa
disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika disini sama artinya dengan filsafat moral. Dalam pengertian ketiga inilah
umumnya definisi etika diberikan.
Berikut ini
adalah definisi etika dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master
Pictorial Encyclopedia dikatakan: ethics is the science of moral
philosophy concerned not with fact, but with value; not with the character of,
but the ideal of human conduct. Dengan kata lain, etika adalah ilmu tentang
filsafat moral, tidak mengenai fakta, melainkan tentang nilai-nilai dan moral
berkaitan dengan tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
Sementara itu,
dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa
Ethics; the study of human behaviour not only to find the trurth of things as they are, but also to enquire into the
worth or goodness of human actions.
Selanjutnya dirumuskan sebagai berikut the
science of human conduct, concerned with judgment of obligation (tightness or wrongess, oughtyness) and
judgment of value (goodness and badness). Dengan kata lain, bahwa etika adalah
ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang
kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta
ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.
Kedua definisi
di atas mengarah pada pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang menjadi topik
pembahasan filsafat yang dalam obyeknya mengandalkan rasionalisasi akal pikkan.
Sehingga etika sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku
manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, maka ukurannya adalah
akal pikiran. Atau dengan kata lain, melalui akal orang dapat mementukan nilai
baik dan buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena akal menentukannya baik, dan
sesuatu dianggapnya buruk karena akal menentukannya buruk. Sehingga akal
merupakan sumber dasar etika. Disinilah yang membedakan etika dengan yang
lainnya. Dengan demikian tidak salah bila dirumuskan bahwa etika adalah ilmu
yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal
perbuatan manusia sejauh mana yang diketahui oleh akal pikiran.
Berdasarkan
pengertian di atas, secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua
pengertian, yaitu pengertian empiris dan filosofiis. Pegertian empiris ini
berdasarkan pada penelitian psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia
yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan
pengaruhnya terhadap orang lain. Dan inilah yang biasa disebut etika praktis
yang berhubungan dengan prilaku individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian
filosofis ini merupakan hasil kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun
buruk, apa yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah
untuk menjelaskan norma-norma atau keputusan-keputusan perbuatan manusia
tentang nilai-nilai moral, yang sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika
dalam filsafat dibatasi sebagai filsafat tentang moral, yaitu mengenai
kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain
tunduk terhadap suatu norma dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika
mempunyai sifat dasar kritis, maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma
yang berlaku. Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap
kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai
dengan apa yang dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh
pendapat Franz Magnis Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional
dan bertanggung jawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan
pengarang, serta bagi siapa saja yang tidak diombang-ambingkan oleh kegoncangan
norma-norma masyarakat sekarang. Karena etika adalah pemikiran sistematis
tentang moralitas, maka yang dihasilkannya secara
langsung bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dengan
demikian sangat jelas, bahwa etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal
pikiran dalam menentukan baik dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan
istilah moral yang meskipun obyek dan arti etimologinya sama.
2) Moral
Bila kata
etika berasal dari Yunani kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin, yaitu
jamak dari mose yang berarti adat kebiasaan. Kedua istilah
ini kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang istilah
moral dapat disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian
nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam suatu masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya dikatakan bahwa
perbuatan orang tersebut tidak bermoral. Dengan demikian yang dimaksudkan
adalah perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis
yang berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya
bila dikatakan orang itu bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi
nilai-nilai dan norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya.
Sehingga contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu
berkonotasi positif. Padahal sebetulnya pengertiannya tidak sesempit itu karena secara harfiah moral itu diartikan adat kebiasaan
manusia dalam berperilaku maka ia bisa berkonotasi positif maupun negatif, bisa
baik dan bisa buruk tergantung sifat perbuatan itu.
Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam Dictionary of Education, bahwa moral ialah a
term used to delimit those characters, traits, intentions, judgments, or acts
which can appropriately, be designated as right, wrong, good, bad. Karena
moral itu merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap
aktifitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral
ini lebih terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini
sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok
ukur yang digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam
pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat,
yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal
ini Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan
ide-ide umum tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.
Senada dengan
Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa
moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai
hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan
buruk. Maka untuk mengukur tingkah laku
manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari
penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan,
baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang
membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah
etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat
praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum),
sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral
merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.
3) Perbedaan Akhlak, Etika Dan Moral
Istilah
akhlak, etika dan moral sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam
percakapan sehari-hari, sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga
istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat
dimaklumi karena ketiganya mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu
dibedakan antara akhlak sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan
di atas, dan akhlak sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika sebagai ilmu yang
pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu
pengertian ilmu filsafat yang cukup mewakili
adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan
melakukan apa-apa yang harus diperbuat. Pengertian di atas hampir tidak ada
bedanya dengan pengertian etika, sehingga
kadang-kadang disamakan antara ilmu akhlak dan
etika. Namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya
mempunyai segi-segi perbedaan. Sedangkan pada etika dan moral yang
membedakan adalah pada tolok ukurnya.
Jika dalam etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia (baik atau buruk)
dengan tolok ukur akal pikiran maka dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah
norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat berupa adat istiadat, agama
dan aturan-aturan tertentu.
Inti
pengertian di atas adalah harus ada seperangkat nilai yang mengatur manusia
untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon
banum) yang dalam teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara
universal tanpa memandang ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa.
Sedangkan dalam akhlak (dalam hal ini adalah akhlak Islam) merupakan seperangkat
nilai untuk menentukan baik dan buruk tolok ukurnya adalah al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Bagi umat
Islam al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur
segala perilakunya, sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari
keduanya. Hal ini tidak berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam
pembahasan akhlak atau etika merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan
karena suatu perbuatan dapat dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang
yang sudah menentukan pilihannya untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri
dan tunduk pada kemauan Allah, akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam.
Sebaliknya bila seseorang menentukan pilihannya pada
yang lainnya, ia akan terikat dengan sistem nilai-nilai lain, karena tak ada
konsep bebas yang mutlak kecuali hanya milik Allah yang tak terikat ruang dan
waktu.
Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur
pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah
ajaran Islam dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber nilainya serta
ijtihad sebagai metode berpikirnya. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud
mencakup pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya
sendiri) dan alam. Pola hubungan dalam akhlak Islam ini saling berhubungan
sehingga orang dapat dikatakan berakhlak mulia apabila ia baik hubungannya
dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.
b. Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas
persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup
akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya,
terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta
terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya
bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan,
dan tumbuh-tumbuhan.
Ahmad Azhar
Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua
aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari
alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi
akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan,
akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam.
Dalam Islam akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada
perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan
manusia. Oleh karena itu konsep akhlak Islam mengatur pola kehidupan manusia
yang meliputi:
1) Hubungan antara manusia dengan Allah Seperti akhlak
terhadap Tuhan
2) Hubungan manusia dengan sesamanya
Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap
keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a)
Akhlak
terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap
isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak
keluarga.
b)
Akhlak
terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap
tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak
keluarga.
3) Hubungan manusia dengan lingkungannya, Akhlak terhadap makhluk
lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan
akhlak terhadap alam sekitar.
4) Akhlak terhadap diri sendiri
c. Dasar-Dasar Akhlak
1) Al-Qur'an
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ Artinya : Sesungguhnya engkau
(Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia. (QS. Al-Qalam:4).
Pujian Allah
ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad karena kemuliaanakhlaknya.
Penggunaan istilah khulukun ‘adhim menunjukkan keagungan dan keanggunan
moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad SAW. Banyak Nabi dan rasul
yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, Tetapi hanya Muhammad SAW yang mendapatkan
pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas Allah pun memberikan penjelasan secara
transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal
bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang teladani sebagai uswah
hasanah, melalui firman-Nya :
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة Artinya: Sungguh bagi kamu pada diri
Rasulullah ituo terdapat suri tauladan yang baik …
2) Al-Hadits
Dalam ayat
al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah
merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
“sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena
semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan
oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat
manusia secara universal, karena Rasulullah
diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal
ini didukung pula dengan hadits yang berbunyi: انما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق Artinya : Sesungguhnya saya ini
diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci
dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah
untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak
yang mulia. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana substansi akhlak
Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri
Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam
kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab : كان خلقه القرأن Artinya : Substansi
akhlak Rasulullah itu adalah al-qur’an.
Dari jawaban
singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin lewat semua
tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan al-qur’an, dan
benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-qur’an. Semua perintah
dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur'an didalaminya untuk
dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
d. Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak
adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di
dunia maupun akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah
ma’allah dan mu’amallah ma’annas, isnya Allah akan memperoleh
rida-Nya. Orang yang mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan
kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi.
Seseorang yang
berakhlakul karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri
dan tidak pernah menipu apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini
biasanya dapat hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan
banyak relasi, serta dihargai kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya.
Ketenteraman hidup orang berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis
menghadapi kehidupan ukhrawi lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai
dengan ketentuan Allah sehingga tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir
untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman
dan kebahagiaan hidup seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan,
kepandaian, atau jabatan. Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas
apakah ia seorang yang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah,
memiliki jabatan tinggi, rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya
Allah akan dapat memperoleh kebahagiaan.
e. Urgensi Akhlak
Saat ini kita
berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek
tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran.
Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu
cepat sehingga mampu membuat informasi cepat
didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya,
serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun,
di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke
bilik-bilik keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita harus
kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif
rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan
hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara,
sehingga mampu menyaring “ampas negatif “
teknologi dan menjaring saripati informasi positif.
Dengan
otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang akan berpegang kuat
pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar
pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah
akidah yang kokoh, akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah
yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati
Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara
bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih
memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya
dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan”
yang ada.
Televisi yang
sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai
tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum
lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi
aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini,
sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi.
Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan
akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi.
Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelania di
ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni,
tetapi disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan
mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi maupun kepuasan badani.
Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul
karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
Belum lagi
munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta
peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkah korban-korban generasi
muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua
terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul
karimah juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait. Upaya
menumbuhkembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama,
yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut
memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarahdagingkan akhlakul karimah,
terutama di kalangan generasi muda.
Munculnya
fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran
pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi
maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristwa
amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan,
fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas
bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi akhlak
semakin terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan,
penodongan, korupsi, manipulasi,
dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja kerjas. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan represif melalui penanaman akhlakul
karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif
tiak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian
fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari
modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak
memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan
modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya
tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen
nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin seulit dibendung.
Didalam
menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas
unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul
karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah : إن من خيركم احسنكم خلقاArtinya: Sesungguhnya
yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya.
(H.R. Bukhari).
Bahkan dalam
hadits lain Rasulullah bersabda: البر حسن الخلق
Artinya: Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya. (H.R.
Muslim).
f.
Kakteristik
Akhlak Dalam Ajaran Islam
Islam memiliki
dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi
karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1) Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi
ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang
menjelaskan masalah akhlak, secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang
menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat
kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh
ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat
(49):12 yang menunjukkan larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan
gelar yang buruk.
2) Akhlak bersifat menyeluruh
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik
beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama
makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata
politik, kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
3) Akhlak sebagai buah iman
Akhlak
memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman
dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting
dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan
oleh ibadah yang teratur dan membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman
dapat terdeteksi melalui indikator tidak teftibnya ibadah dan sulit
membuahkan akhlakul karimah.
4) Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak ridak
membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat
sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang
bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa
menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.
g. Akhlak Karimah
Akhlak
al-karimah adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia di mata
Allah Swt. Akhlak yang terpuji ini merupakan implementasi dari sifat dan
prilaku yang baik dalam diri manusia. Akhlak al-karimah dapat dilihat
dari sifat, tingkah laku maupun perbuatan nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad
SAW tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia yang
paling spektakuler, sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu 23
tahun Muhammad telah berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia
yang sarat kezaliman dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah
kehidupan yang sarat nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal
sebagai zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa
arab telah memiliki kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan
rata-rata, tetapi moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam
waktu yang relatif singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia
arab atas puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang
akhirnya melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah
yang mengorbankan revolusi Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang,
meski tidak menyadarkan kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun
strategi perang yang jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut
lebih banyak ditopang oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang
didorong oleh semangat menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan akhlak,
Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan
amanah. Rasulullah mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat
dari syirik. Di samping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan
orang lain juga dengan akhlak. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh
di medan perang dan membangun negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi
apapun dan berhadapan dengan siapapun senantiasa mempraktekkan akhlak
al-karimah secara nyata dan konsisten.
Semua orang
yang pernah mengenalnya tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan
akhlaknya, sekalipun ia seorang yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy
membenci Muhammad dan memburunya, adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya
yang dipandang “subversif” karena dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah”
mereka yakni dewa-dewa dan patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam kehidupan
berkeluarga, Muhammad telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah
tangga yang tanpa cacat dalam pandangan semua anggota keluarga, masyarakat
sekitarnya, bahkan dalam pandangan semua umatnya. Semua gerak langkah adat kebiasaannya, bahkan
keputusan-keputusannya terdokumentasikan dalam sunnah rasul dan
diteladani oleh semua umatnya akhir zaman.
Dalam bidang
politik Muhammad Saw telah mampu menunjukkan
“kelasnya” sebagai politikus terkemuka, semua keputusan dan langkah politiknya mengindikasikan muatan akhlakul karimah. Hal
tersebut tercermin melalui kemampuannya untuk
meredam konflik antar etnis serta fiksi yang bermuara pada pluralitas, serta penampilannya sebagai sosok demokrat
sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi dan
potensi ummat.
Melalui telaah
historis dapat diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak,
remaja, dan dewasa tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad
Saw pernah melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan
lingkungan dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin,
yang berarti orang yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian
panjang dalam kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali,
bahkan selalu diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak Nabi,
yang mencakup sifat, ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang baik (akhlak
al-karimah), sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di seluruh
dunia. Sebagaimana dalam firman Allah Swt : لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة
Artinya: Sungguh
bagi kamu pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik .…
PEMBAHASAN TASAWUF
a.
Asal Usul Kata
Tasawuf
1)
Kata tasawwufالتصوف adalah bahasa Arab dari kata suf
yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba
yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah
disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang
zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2)
Ahl As-Suffah, اهل الصفةyaitu
orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena
kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa.
Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai
pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa salam bahasa
Eropa berasal dari kata صفة
Walaupun
hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak
mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan
yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah
sifat-sifat kaum sufi.
3)
Shafi صافى yaitu suci. Orang-orang sufi adalah
orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan
mereka lakukan melalui latihan (riyādlah) yang berat dan lama. Dengan
demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
4)
Sophia, berasal dari
bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh
orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof.
Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan
ketidakpuasan.
5)
Saf صف
pertama. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan
dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan
mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.
Di
antara kelima asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak
disebut para ahli sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi
Masehi dan Yahudi, disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang
berasal dari kulit dan bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba
yang kasar dan sederhana itu orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya
dan menunjukkan kezuhudan pemakainya.
b. Pengertian Tasawuf
Untuk
menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah
rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya
dapat diketahui bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam
ucapan, cara dan sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut.
Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
1)
Menurut Ma’ruf
al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat
tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
2)
Ahmad
al-Jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke
dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang
rendah (tercela).
3)
Sementara Abu
Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar
dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa
nafsu.
Definisi-definisi
di atas menunjukan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan
santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya
definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi
yang dikemukakan Dzu al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan
segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang
shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Dari definisi ini, pembahasan tasawuf
mulai memasuki wilayah cinta Ilahi yang dikenal dengan mahabbah. Shufi
adalah orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan segala-galanya.
Kemudian
definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid
al-Bustami yang mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha
al-Khalqu (sifat Allah yang dikenakan oleh hambaNya). Hal ini menunjukan
adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid yang terkenal dengan syafhahatnya,
yaitu: idzhar al-bathin bi al-‘ibrat badalan min al-isyārat
(mengungkapkan secara lisan akan kondisi bathin atau mengungkapkan
pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Lebih
jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-tashawwuf
antakuna ma’a Allah bila ‘alaqat (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa
hubungan). Maksudnya, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq
dan khaliq, bukan hubungan antara 'abid dan ma’bud.
Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan
eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri makhluq.
Ajaran
tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur
al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia
mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari
ucapannya: ana Allah...ana al-Haqq (aku adalah Allah....aku adalah yang
maha benar).
Di
sini timbul pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan
ucapannya yang melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal
al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Hallaj: “apa pun
yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah ... ana
al-Haqq, karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani
saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah”. Nampaknya, hukuman gantung
bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya,
karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan
Allah.
Memperhatikan
definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid
al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak
lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan
langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara
shufi dan Tuhan.
Berdasarkan
seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya
menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
c. Sumber Ajaran Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang dapat
membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada di dalam al-Qur’an
dan hadits. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 menyatakan:
وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artinya : Jika
hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.
Kata da’a yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan
bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau
memanggil. Tuhan mereka panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada
mereka. Ayat 115 dalam QS. Al- Baqarah juga menyatakan:
وَلِلّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
Artinya : Timur dan
Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling disitu (kamu jumpai)
wajah Tuhan.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, dan
dapat dijumpai. Selanjutnya dalam hadits dinyatakan : من عرف نفسه فقد عرف ربه Artinya :
Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal pada Tuhan. Hadits lain yang
juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang
berbunyi : كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلفت الخلق فبى عرفونى
Artinya: Aku pada mulanya
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah
makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.
Menurut hadist ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan
pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.
d. Tujuan Tasawuf
Sebelum
dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih dulu dijelaskan pengertian “fana” dan
“ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri supaya ada Menurut
ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana
perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dengan fana hilanglah
sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin), dan kekalnya sifat-sifat
terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian ma’rifat adalah
pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan
tasawwuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifat”. Dalam hal ini
ahli-ahli tasawwuf berkata:
االتصوف : فانون عن انفسهم باقون بربهم بحضور قلوبهم مع الله
Artinya: Tasawwuf itu ialah
mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.
Tasawwuf
mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi setingkat kepada
Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan
demikian maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah berada dekat
sedekat-dekatnya di hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat
Tuhannya.
Untuk
memantapkan pemahaman Anda tentang pengertian tasawwuf, Anda perlu mengerjakan
latihan di bawah ini. Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan melalui diskusi
bersama teman-teman.
e. Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1)
Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual
tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi
kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat
menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit
perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota
Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga
untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan
melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang
bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada
nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah Swt Akhlak mereka demikian tinggi,
tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan
tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya
yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
a)
Hidup zuhud
(tidak mementingkan keduniaan).
b)
Hidup qanaah
(menerima apa adanya).
c)
Hidup taat
(senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d)
Hidup
istiqamah (tetap beribadah).
e)
Hidup mahabbah
(sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan
makhluk lainnya).
f)
Hidup ubudiah
(mengabdikan diri kepada Allah).
Sikap hidup seperti
tersebut di atas kemudian diikuti oleh kaum sufi, kemudian menjadi sikap hidup
mereka.
Dari perilaku kehidupan
Rasulullah dan para sahabatnya serta asal pokok ajaran tasawwuf di atas, dapat
kita artikan bahwa hakikat tasawwuf itu adalah mencari jalan untuk memperoleh
kesempurnaan hidup rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani ini
memang tidak mudah, biasanya memerlukan suatu proses, bahkan kadang-kadang
proses itu cukup panjang.
Seorang sufi yang ternama
pada mulanya juga mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang dapat diraba dan
dirasakan dengan panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan merasakan sesuatu
yang lahir itu berangsur-angsur surut. Maka sirnalah keindahan dunia yang
bersifat materi dan mereka mencari kepuasan lain. Mereka menuju alam rohani,
yang tidak dapat diraba dengan panca-indera, melainkan hanya dapat dirasakan
dengan perasaan halus.
Seseorang tidak dapat
memahami dan terjun ke dalam tasawwuf, kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi
kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya dari kemegahan dan
keindahan duniawi. Peralihan dari ketidakpuasan merasakan nikmatnya keindahan
duniawi menuju kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang anak kecil tentang
benda-benda yang terdapat pada alam sekelilingnya. Semua yang pertama kali
dilihatnya dirasa indah dan hebat. Ketika perkembangan jiwanya meningkat,
sehingga apa-apa yang tadinya dipandang indah dan hebat menjadi kecil dan
remeh. Mereka meninggalkan benda-benda itu dan mencari benda-benda yang dapat
memuaskan dirinya.
Jadi tasawwuf itu pada
dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang
lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan. Sebagai contoh
dikemukakan di sini salah satu sisi kehidupan (pengalaman) salah seorang sufi
yang terkemuka, yaitu Ibn Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan keindahan dunia
sebagaimana dirasakan oleh manusia lainnya. Ketika berumur 38 tahun, masa
peralihan dari masa muda ke masa tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal serta
berguru pada seorang alim ulama di Mekkah. Gurunya itu mempunyai seorang anak
perempuan yang cantik jelita, ditambah pula dengan budi bahasanya yang lembut.
Perjumpaan Ibn Arabi dengan anak perempuan gurunya itu sangat mengganggu
pikirannya. Ia ingin selalu dekat dengan orang yang disenanginya itu. Siang
dikenang, malam diimpikan. Banyak sudah karangan yang telah ditulisnya, hanya
untuk menggambarkan kekaguman dan kecantikan orang yang dicintainya. Demikian
indahnya rangkaian kalimat yang diciptakan Ibn Arabi sehingga dapat menjelaskan
kepada kita bahwa besar dan kuatnya rasa cinta terhadap keindahan alam lahir
dapat mempengaruhi sikap seseorang. Demikianlah perasaan yang pernah dialami
Ibn Arabi. Salah satu kalimat curahan perasaan yang bersifat kesenangan duniawi
terungkap dalam perkataannya, “Demikian rupa hatiku terpikat olehnya, pikiran
dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga yang kutuju, setiap nama yang kusebut, namanyalah yang kukehendaki,
setiap kampung kampungnyalah juga seakan-akan yang kumasuki.”
Kata-kata Ibn Arabi
tersebut menunjutkan bagaimana keadaan seseorang yang telah tenggelam dalam
merasakan nikmat pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati. Jika pengaruh itu
tidak segera dibersihkan, maka manusia tidak dapat melepaskan diri dari
kecintaannya terhadap dunia yang bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari akan
maksud dan tujuannya datang ke Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya
semula. Lalu ia berusaha untuk dapat melepaskan diri dari belenggu syahwat yang
telah mengikat alam pikirannya. Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita
katakan permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir menuju pada kesenangan
rohani, yang boleh kita anggap peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian Ibn Arabi
beralih dari bumi ke angkasa raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke
langit, kepada keindahan bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala.
Pandangannya berpindah dari ruang yang sempit ke dunia luar yang lebih luas dan
kepada keindahan yang lebih menakjubkan serta mengagumkan. Ia duduk termenung
pada malam hari yang sepi, sambil bertopang dagu, melihat dengan asyiknya
keindahan bintang-bintang.
Dari contoh di atas dapat
kita ketahui bahwa orang-orang sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi
daripada hidup biasa. Kadang-kadang sampai demikian tingginya, sehingga sulit
difahami oleh orang biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum dalam Islam,
maka yang dipentingkan adalah tujuan dari hukum itu, sehingga sering ijtihad
mereka kelihatannya seolah-olah berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqih
biasa.
Tasawwuf atau sufisme
sebagaimana halnya dengan aliran-alkan mistik di luar Islam ingin memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi (semedi). Banyak ayat Al-Qur’an yang
menganjurkan kepada manusia agar merenungi alam raya ini dan juga diri manusia
sendiri. Dengan demikian manusia akan mengingat zat penciptanya. Kekaguman akan
keindahan alam, diri manusia, lambat laun akan tercurah rasa rindu untuk dekat
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Jika hidup kerohanian (hidup sufi) telah
merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang, maka tidaklah ia merasa hina
dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian bulu domba (suf) yang
kasar. Ia menjadi zuhud (tidak terpikat pada kemewahan dunia, ta’abud
(berbakti), qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan ikhlas.
Hidup kerohanian semacam ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh
Nabi-nabi terdahulu, termasuk Ulul Azmi, yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as,
Nabi Musa as, dan Nabi Isa as.
Mengenai kehidupan Nabi
Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga beliau
sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang
lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap begitu
juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk makan sehari-hari saja kadang
tidak ada. Ia tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang empuk,
makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan
segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada
keponakannya, Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang
berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya,
“Jadi, apakah yang kamu makan sehari-hari?” Aisyah menjawab, “Paling untuk yang
menjadi pokok itu adalah korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga
Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan
seteguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan
kecuali kalau lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula pada suatu
hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar.
Ia bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?” Abu
Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah berkata
pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abul
Hasim, barangkali di sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering berpuasa
sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia, tetap
dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di mesjid. Setelah
beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya kepada
Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat dimakan?” Tatkala
Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan, ia kembali lagi
ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang sunat. Beberapa saat
kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah tentang makanan,
Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah
sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama, sampai akhirnya ia
mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman bin Affan.
Aisyah menerangkan lebih
lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali.
Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga
orang.
Nabi Muhammad-lah yang
pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa
adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang
mewah penuh ria, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan
duniawi berlebihan sehingga melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula
yang mengajarkan bahwa kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab
itu ia mengajak kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi
dan abadi, yakni dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha
Kuasa, Allah SWT. Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri
sedekat-dekatnya kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ
بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya : Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada
di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16) juga firmannya lagi:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artinya: Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka
sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku
dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud
diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan didapatinya Rasulullah
sedang berbaring di atas sehelai anyaman daun korma sampai memberikan bekas
pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud bertanya, “Rasulullah, apakah tidak
baik kalau aku mencarkan sebuah bantal untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku
tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah laksana seorang yang sedang
bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat terik di bawah naungan pohon
kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta
benda dikisahkan pula bahwa pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan
Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga semua uang emas itu
dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini
diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang
akhir hayatnya, ia teringat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar
emas. Dalam keadaan sakit payah, ia memanggil ahli rumahnya untuk segera
membagi-bagikan mata uang tersebut kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan
oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena
kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa
yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi
mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai
bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan dengan mata uang di
tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu kepada fakir-miskin,
sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan
Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia tidak meninggalkan untuk
keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
Abdurahman bin Auf
menceritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang
ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang, dan seekor keledai yang
biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah
diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda,
“Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada
di tangan manusia supaya manusia pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah
dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka
menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan
merenungi alam raya ini dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan mata
hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan
suci, kepribadiannya sangat sempurna. Ia memang seorang manusia seperti kita,
tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan
cepat menerima dan merasa apa yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad
menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ
أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن
جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya: Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an)
dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan
Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy
Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya
pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau benih-benih pertama
bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan
Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa
Hira merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan
Nabi di Goa Hira mengenai alam raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan
keagungan Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan
memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk, hanya ada satu
dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut para ahli tasawuf,
cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan
utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan
untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari Allah. Semua itu ibarat jalan
adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan
diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul,
Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir,
istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. Ia memperkuat bathinnya dengan
menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah
menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan
pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti
perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka
itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400 orang, lambat laun
bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman dan
keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan mereka sangat luhur.
Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah tamu-tamu
orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta benda, dan
tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya hanya tertuju kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan
hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap hidup para
sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar kaum suffi
itulah yang telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehendaki
oleh Allah Taala.”
2)
Zaman Sesudah
Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw
wafat, kekhalifahan Islam diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar
Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun
menjadi khalifah atau kepala negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara
hidup mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan
raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini
dikemukakan salah satu sisi dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut
riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap
lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia
berkata pula, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri
karena sesuatu dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai
perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau
adalah bahwa sifat dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari
keyakinan dan martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun
memiliki jiwa yang bersih dan kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah
berkata tentang diri Umar, bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di ujung
lidah Umar dan hatinya. Pangkat khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi
tidak mengurangi nilai kehidupan rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah
kehidupan kerohaniannya semakin ia tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang
kiriman zakat dari negeri Yaman, lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah
hendak memberikan nasihatnya. Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua
yang hadir mematuhi nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri
seraya berkata, “Kami tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”.
Khalifah bertanya, “Mengapa?” Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan
taat, Tuan membagi-bagikan zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain,
sementara Tuan hanya mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya
satu persalinan, tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim
dingin. Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat”
Mendengar sanggahan orang itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu
ia berpaling kepada puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai
Abdullah, bagaimana menurut pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata
kepada penyanggah itu, “Jika masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan
lagi, biarlah saya yang akan menanggungnya.” Mendengar jawaban Abdullah, orang
yang menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada
khalifah.
Usman bin Affan adalah
Khalifah yang ketiga. Ia adalah seorang Khalifah yang berada. Walaupun ia
banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya
digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama
Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an,
Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh
Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang hamba melalaikan surat dari tuannya.
Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat
dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh pemberontak
ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin Abi
Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya
yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang
dikenakannya telah robek. Ketika
pakaiannya robek, ia sendiri yang menambalnya. Pernah orang
bertanya, “Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk
mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain dari sahabat Nabi
yang empat sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan
oleh sahabat-sahabat vang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. Ia
terkenal salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
Ia menjadi tempat bertanya
pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang kepada Huzaifah untuk
menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau tanda-tanda munafik,
atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, kadang-kadang
Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas memperbaiki atas segala
kekhilafannya.
Kepopuleran Huzaifah
tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan Basri,
seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan
tegas menentang gaya hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia melihat bahwa
ketulusan beragama sudah mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal
yang demikian, bahkan pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya
menjadi teladan dengan berani dan terus terang menentang pengumpulan harta
benda untuk kepentingan diri sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka berita bukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap Abu Dzar yang
demikian, oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu
Dzar dituduh telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan
semangat perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya,
Khalifah Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah dusun
bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang
dialami Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang
mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang
yang terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama
Said bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. Ia seorang zahid yang
betul berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu
seorang Khalifah, ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah
perkasa, namun terkenal kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj
tidak segan-segan membunuh orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah.
Melihat tindakan semena-mena itu, Sa’id Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut
sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj dan tetap berani menegurnya. Tentu saja
Hajjaj merasa tersinggung. Maka dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab
Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo,
“Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia mati membelakangi kiblat.
Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku, disanalah wajah Allah.”
f.
Pembahasan
Akhlak Tasawuf
Hubungan
antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua mata
uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang
biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf).
Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang
mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang
dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada akhlak
mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang
akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian akhlakul
karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus
shalih.
Akhlak tasawuf
ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada pada
tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan bekas
pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain pihak
akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam dunia
tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf falsafi.
Secara
singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs
(penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq
dan takhaluq, membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela)
dan menghiasi dengan akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan
adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari
(teoritis).
Selama
ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah
menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan
akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai ranah
afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai
tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari
penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak
dapat diperoleh hasil semaksimal.
SUMBER-SUMBER AKHLAK TASAWUF
1.
Sumber-Sumber
Akhlak Tasawuf
Perlu
diberikan penjelasan lebih dahulu mengapa kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits
dijadikan dasar pokok ajaran Islam. Seperri diketahui, umat Islam memahami dan
meyakini agama Islam sebagai agama “wahyu”. Artinya ajaran agama Islam dibangun
dan didasarkan dari hasil pemikiran, penalaran, perenungan dan semacamnya,
melainkan berdasar "wahyu". Wahyu dipahami dan diyakini umat Islam
secara keseluruhan sebagai kalam Allah SWT (Ucapan Allah SWT) yang
tersalurkan pesan-pesan yang dimuat di dalamnya kepada umat manusia lewat
perantaraan utusan Allah SWT. Kalam Allah SWT ini tidak pernah diintervensi
(dicampuri) oleh manusia dalam hal ini para utusan Allah SWT, baik dari segi
substansi materi maupun instrument kebahasaannya. Begitulah yang diyakini oleh
umat manusia secara keseluruhan sepanjang kesejarahannya. Sementara itu,
penjelas dalam rangka implementasi konkret kalam Allah SWT tersebut dalam
kehidupan nyata sehari-hari umat manusia, utamanya umat Islam, maka pada
ucapan, perbuatan dan persetujuan (taqrir) utusan Allah SWT dalam hal
ini Rasulullah Muhammad SAW, yang disebut al-Hadits. Secara ringkas, al-Hadits
merupakan jabaran fungsional-praktikal dari al-Qur'an yang menyebabkan
al-Qur’an jadi living (hidup) dalam praktek kehidupan, terutama
pada masa Rasulullah SAW hidup. Sementara itu pula metode dan prosedur untuk
memahami muatan al-Qur’an disebut ilmuTafsir.
Oleh
karena ajaran Islam memiliki dasar pokok berupa Qur’an dan al-Hadits, maka
dengan sendirinya Akhlak Tasawuf yang menjadi bagian dari hasil pemahaman
terhadap ajaran Islam itupun sumbernya juga harus dari al-Qur’an dan al-Hadits.
2.
Sumber
Al-Qur’an dan Al-Hadits
a.
Sumber
Al-Qur’an
Al-Qur’an
menurut bahasa berarti “bacaan” atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah
masdar yang diartikan dengan ism maf’ul yaitu maqru berarti yang dibaca.
Menurut
istilah ahli syara’ al-Qur’an ialah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai mukjizat bagi beliau, wahyu itu diturunkan dalam bahasa
Arab dan disampaikan kepada masyarakat ramai secara mutawatir, baik dengan
lisan maupun tulisan, dan orang yang membaca wahyu mendapat pahala dari Allh
SWT.
Allah
SWT menurunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur, sehingga penurunan seluruhnya
memakan waktu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, yakni mulai dari malam 17
Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjaah
hari haji wada’ tahun ke 10 H, atau tahun 63 dari hari kelahiran Nabi.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6236 ayat. Sedang kalimatnya
menurut hitungan sebagian ahli 74434 dan hurufnya 325345 huruf. Semuanya
dinukilkan kepada manusia secara mutawatir.
Sebagai
patokan hukum agama Islam, Al-Qur’an di dalamnya terdapat nash-nash yang juga
mengupas tentang akhlak tasawuf. Istilah Akhlak Tasawuf terdiri dari dua kata
yaitu, akhlak dan tasawuf. Berikut ini akan dipaparkan sumber dari al-Qur’an
mengenai akhlak dan tasawuf.
1)
Akhlak
Dalam
al-Qur’an kata yang berkaitan dengan akhlak diantaranya adalah surat
as-Syu’ara’ ayat 137, yang berbunyi: إِنْ هَذَا
إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ Artinya: (Agama kami) ini tidak
lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang dahulu. Lalu dalam surat al-Qalam ayat 4 berbunyi: وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya
engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.
Dua
ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata, dapat dijadikan dasar
untuk mengatakan bahwa istilah akhlak memang terdapat dalam al-Qur’an. Hanya
saja bila dilihat dari konteks ayat, terdapat perbedaan muatan akhlak di
dalamnya. Dalam surat as-Syu’ara ayat 137 istilah akhlak diartikan sebagai
“adat kebiasaan buruk” dari seorang umat nabi Hud AS., sedangkan istilah akhlak
yang termuat dalam surat al-Qalam ayat 4 adalah dalam konteks budi pekerti yang
agung atau luhur” dari sosok nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka akhlak dapat disebut “akhlak yang baik”
dan juga disebut “akhlak yang buruk”.
2)
Tasawuf
Istilah tasawuf secara eksplisit kebahasaan tidak pernah disebut dalam
al-Qur’an. Sebagian besar ulama tasawuf sepakat bahwa masalah tasawuf tersebut
secara implisit (tersirat) dan termuat dalam istilah “zuhud”. Sementara itu
istilah zuhud (زهد ) yang berarti orang yang tidak merasa
tertarik terhadap sesuatu, hanya terdapat satu kali ditulis dalam al-Qur’an
yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
وَشَرَوْهُ
بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
Artinya: Dan mereka menjual yusuf dengan harta yang murah, yaitu
beberapa dirham saja, dan mereka (anggota kafilah dagang) itu tidak merasa
tertarik hati mereka terhadapnya (Yusuf).
Dari cara penelusuran payung ayat seperti di atas, maka banyak konsep
dalam ajaran Tasawuf (yakni ajaran tasawuf yang telah disistem menjadi sebuah
disiplin ilmu fann al-‘ilm) yang dicari-carikan paying ayatnya dalam
al-Qur’an, sekedar contoh yang dikutipkan dari beberapa kata kunci mengenai maqam
(terminal ruhani), antara lain kata-kata kunci: taubat, sabar, faqr, zuhud,
tawakkal, mahabbah, ma’rifah, ridha dan sebagainya.
Kata kunci “taubat” antara lain di dasarkan pada Surat al-Baqarah ayat
222:
إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya : Seseungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
Dia menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
Kata kunci “sabar” antara lain didasarkan pada surat al-Mu’min atau Ghafir
ayat 55 yang berbunyi:
فَاصْبِرْ إِنَّ
وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
Artinya: Maka bersabarlah
engkau, karena sesungguhnya janji Allah itu benar.....
Kata kunci “Faqr”' dikaitkan dengan surat Thaha ayat 2:
مَا أَنزَلْنَا
عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya: Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar menjadi
sengsara.
Kata kunci “tawakkal” dikaitkan dengan surat ath-Thalaq ayat 3 berbunyi:
وَمَن يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: ....dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Kata kunci “mahabbah” dikaitkan antara lain dengan surat Ali Imran ayat
31:
قُلْ إِن كُنتُمْ
تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ
Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mencintaimu dan Dia akan mengampuni dosa-dosamu....”
Kata kunci “ma’rifah” dikaitkan antara lain dengan surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ
مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat
lehernya.
Yang terakhir kata kunci “ridla” dikaitkan dengan surat al-Maidah ayat
119:
رَّضِيَ اللّهُ
عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: Allah ridla terhadap mereka dan merekapun ridla terhadap-Nya;
itulah keberuntungan yang sangat besar.
Mencermati contoh-contoh ayat di atas, maka dalam peristilahan maqam
ada beberapa kata kunci yang dari asal kata-katanya memang dapat dirujukan pada
al-Qur’an, seperti kata kunci “taubat” (Surat al-Baqarah ayat 222), “sabar”
(Surat al-Mu’min/Ghafir ayat 55), “zuhud” (Surat Yusuf ayat 20), “tawakkal”
(Sura at-Thalaq ayat 3), “mahabbah” (Surat Ali Imran ayat 31), “ridla” (Surat
al-Maidah ayat 119). Sementara itu kata kunci “faqr” (Surat Thaha ayat 2) dan
kata kunci “ma’rifah” (Surat Qaf ayat 16) dipahami secara implisit terhadap
muatan pesan ayat-ayat tersebut.
Selain itu kandungan al-Qu’an juga memuat ajaran-ajaran tasawuf, antara
lain:
a)
Memperbaiki
aqidah dan meluruskan aqidah umat yang sudah rusak binasa oleh kehendak nafsu
buruk.
b)
Menetapkan
aturan-aturan hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan benda.
c)
Membersihkan
hati, sehingga haluan hidup tampak dengan jelas. Karena hati yang telah bersih
akan menumbuhkan perangai-perangai yang terpuji dan akhlak yang mulia. Allah
SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Hai manusia telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
pernyembah bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an ini yang menjadi sumber pertama dan utama dari tasawuf Islam.
Dari al-Qur’an ini dapat digali pelajaran-pelajaran untuk menjadi obat hati dan
penawar jiwa yang sedang menderita penyakit-penyakit riya’, hasad, takbur, ujub
dan sebagainya.
d)
Kandungan
al-Qur’an yang lain ialah kisah-kisah umat purbakala seperti kaum ‘Ad, Tsamud
dan lain-lain, atau kisah-kisah pribadi seperti kisah para Rasul, Khidir, Dzul
Qarnain dan sebagainya yang semuanya itu
untuk menjadi wa’ad dan wa’id atau menjadi targbib
yang menggemarkan orang berbuat taat dan menakuri mereka dari berbuat jahat.
Yang juga patut dicatatkan di sini dalam kaitannya dengan pencarian sumber
dalam ayat-ayat al-Qur’an ini adalah bahwa nampaknya para shufi (pelaku
kehidupan thasawuf) lebih merasa mantap jika dasar aktifitas ketasawufan mereka
itu dapat didukung dalam al-Qur’an. Sebabnya adalah bahwa sumber dalam
ayat-ayat al-Qur’an itu kewibawaannya dianggap lebih tinggi dari pada
diambilkan dari al-Hadits, misalnya. Kemantapan seperti ini antara lain
disebabkan al-Qur’an oleh seluruh umat Islam tidak diragukan lagi kebenarannya,
baik dari segi susunan kebahasaan, redaksi dan isi pesannya. Sementara itu
keshahihan al-hadits masih perlu dikoreksi. Sebab, harus diakui tidak semua
hadits adalah shahih, baik itu dari sudut sanad (periwayatan dari satu
periwayat kepada periwayat yang lainnya) ataupun dari sudut matan (wujud teks
hadits yang bersangkutan). Bahkan ada hadits yang digolongkan palsu (maudlu’).
Karena itu al-Qur’an menjadi sumber pertama sedangkan al-Hadits menjadi sumber
kedua, apabila dalam al-Qur’an belum dijelaskan secara terang maka rujukan
keduanya adalah al-Hadits.
b.
Sumber
Al-Hadits
Sumber
hukum ini berarti merujuk terhadap Sunnah Nabi yang disebut dengan al-Hadits.
Menurut etimologi bahasa, as-Sunnah berarti jalan yang harus dijalani. Menurut
ahli Syara’, Sunnah ialah jalan yang dijalani dalam bahasa, karena telah biasa
dijalani oleh Rasulullah SAW, dan para ulama salaf yang salih sesudah wafat
Rasul SAW.
Sunnah
itu ada kalanya qauliyah yaitu, segala yang diucapkan oleh Nabi SAW,
adakalanya Sunnah bersifat fi’liyah, yaitu segala yang diperbuat Nabi
Saw untuk syariat, adakalanya taqririyah, yaitu segala perbuatan sahabat
di hadapan Nabi atau Nabi melihat orang mengerjakan sesuatu tanpa teguran dari
beliau. Dan adakalanya Sunnah itu tarkiyah yaitu suatu perbuatan yang
mungkin dilaksanakan oleh Nabi, tetapi beliau tidak mau mengerjakannya.
Istilah Sunnah ini kemudian lebih biasa dipakai dengan istilah Hadits.
Hadits (Sunnah) adakalanya shahih dan adakalanya dha’if. Hadits shahih ialah
yang mempunyai sanad yang tersambung sampai kepada Nabi Saw, semua sanadnya
tidak cacat dan matan haditsnyapun tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Adapun
Hadits yang dla'if adalah kebalikan dari yang shahih.
Dalam
kedudukannya sebagai sumber, Hadits atau As-Sunnah mendapat tempat sesudah al-Qur’an,
hal ini sesuai dengan bunyi hadits:
قد تركت فيكم أكرين لن تضلوا ما
تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه ( رواه مالك )
Artinya: Aku
tinggalkan padamu dua pedoman, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudahnya
selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Pada
penjelasan Hadits ini akan diuraikan sumber-sumber dari al-Hadits yang
berkaitan dengan akhlak tasawuf.
1) Akhlak
Istilah
akhlak yang dikaitkan dengan al-Hadits memang ada dasarnya. Di sini akan
dikutipkan beberapa hadits yang secara eksplisit menyinggung istilah akhlak
tersebut sebagai berikut:
Nabi
berkata:
إنما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق
Artinya: Bahwasannya aku dibangkitkan (diutus) adalah untuk
menyempurnakan keluhuran akhlak. (HR.
Baihaqy).
Hadits lain menyebutkan: اكمل المؤمنين ايمانا
احسنهم خلق
Artinya : Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang
mukmin yang paling baik akhlaknya
(H.R.Tirmidzi).
Pesan
yang dimuat oleh kedua hadits di atas adalah searah, yaitu bahwa masalah akhlak
sangat dipentingkan berkaitan dengan masalah kerisalahan (keutusan) Nabi
Muhammad Saw dan juga berkaitan dengan masalah keimanan (keyakinan teguh bagi
seluruh manusia Islam.
2) Tasawuf
Berkaitan
dengan sumber dari al-Hadits mengenai tasawuf, semua ulama tasawuf hampir
sepakat mengatakan bahwa istilah tasawuf belum pernah dikenal dalam
hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW. Justru yang diperkenalkan oleh
Rasulullah Saw adalah istilah ihsan. Salah satu potongan hadits yang
berbicara tentang ihsan menyatakan sebagi berikut:
قال يا رسول الله ما
الاحسان ؟ قال : أن يعبد الله كأنك تراه فإن لم تراه يراك ( رواه مسلم )
Artinya: (Tamu Rasulullah)
bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang disebut ihsan? Nabi menjawab: Hendaknya
engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak
dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Muslim)
Jika
direnungkan secara mendalam, sebenarnya ajaran ihsan ini sudah sangat
mendalam. Di sini sudah ditekankan adanya unsur kesadaran dan penghayatan
ketuhanan. Allah Swt seolah-olah sebagai pengontrol pada prilaku manusia dan
sekaligus sangat dekat dengan manusia dalam kehidupannya. Sayangnya istilah dan
konsep ini tidak dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama Islam sampai tingkat
pelaksanaan teknis. Malahan mengintroduksi istilah baru yang diberi nama
“tasawuf”. Tetapi begitulah kenyataan kesejarahan umat Islam yang harus diakui,
walaupun sebenarnya getir menerimanya.
Al-Qur’an
memang layak menjadi sumber muatan ajaran Akhlak Tasawuf, Sebab, muatan
al-Qur’an pada hakekatnya adalah dunia akhlak. Bahkan ada sebutan yang
dinyatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak Nabi Muhammad Saw adalah “akhlak
al-Qur’an”. Sementara Nabi menyampaikan bahwa kebangkitannya menjadi seorang
Rasul adalah juga dalam kerangka besar penyempurnaan akhlak. Pernyataan Rasul
tersebut dikuatkan oleh al-Qur'an: لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة
لمن كان يرجو الله و اليوم الاخر و ذمر الله كثيرا
Artinya : Sungguh adalah dalam diri Rasulullah itu bagimu sebagai suri tauladan yang
baik (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
Hari Akhir dan dia banyak menyebut Allah.
Pada
hakekatnya akhlak yang dibangun oleh al-Qur’an adalah akhlak yang mendapat
pencerahan berdasar prinsip ihsan, yang bagi penyuka istilah tasawuf
disebut akhlak tasawuf. Jika disiplin menurut peristilahan al-Qur’an dan
al-Hadits, maka istilah yang lebih tepat adalah akhlak ihsan.
Sosok
Nabi Muhammad yang dijadikan sumber keteladanan akhlak tasawuf (akhlak ihsan)
adalah segala tindakan nabi yang menyangkut kerisalahan (kerasulan), bukan yang
bersifat basyariyah (biologis). Tindakan Nabi yang bersifat basyariyah
ini misalnya gaya berjalan, gaya berlari, cara berkedip, macam suara (intonasi
suara), cara tersenyum dan sebagainya. Ini semua adalah pembawaan lahir.
Sementara itu, yang berkaitan dengan kerisalahan (kerasulan) menyangkut norma
atau aturan yang dituntunkan oleh Allah Swt lewat kalam-Nya (wahyu). Disitulah
baru terjadi proses uswatun khasanah (keteladanan yang baik). Pribadi dalam konteks kerisalahan
(kerasulan) yang senantiasa disinari oleh wahyu
inilah yang memungkiikan Nabi Muhammad SAW memiliki sifat ma’shum
(terjaga dari prilaku ma’siyat) atau prilaku yang keluar dari garis
kerisalahannya). Dapat dibayangkan betapa berat diri Nabi dalam membina dan
mempertahankan dirinya sebagai sosok yang uswatun khasanah yang senantiasa
harus terjaga dari prilaku ma’siyat (sifat ma’shum) itu. Hanya
orang-orang yang benar-benar terpilih dan manusia pilihan saja yang sanggup
memikul tugas seperti ini
LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG
AKHLAK TASAWUF
1.
Latar Belakang
Timbulnya Studi Tentang Akhlak Tasawuf
a.
Latar Belakang
Studi Akhlak
Ketika
Nabi Muhammad diutus (dibangkitkan menjadi rasul), keadaan moralitas suku-suku
di Arabia menurut para ahli sejarah Islam bisa disebut sebagai zaman jahiliyah.
Dalam zaman itu dapat dicatatkan hal-hal sebagai berikut:
1)
Jual beli
hamba sahaya. Hamba sahaya ini biasanya berasal dari tawanan perang antar suku.
Suku yang kalah dalam perang langsung dijadikan budak (hamba Sahaya) bagi suku
yang menang. Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat dikenal istilah ayyam
al-‘arab yang artinya hari-hari orang Arab yang diselimuti dengan suasana
siap perang. Bagi suku-suku yang memiliki oase atau sumber-sumber air untuk
keperluan ternak, maka mereka harus senantiasa siap untuk
berperang untuk mempertahankan hak milik mereka dari incaran musuh yang terus
menerus mengintai. Untuk itu, sudah menjadi tradisi bahwa bagi kaum pria sejak
kecil dilatih untuk memanah, berenang dan segala jenis alat perang lain. Mereka
sangat bangga jika dalam suku mereka lahir anak laki-laki, lalu biasanya melakukan
pesta di kalangan mereka. Jelasnya, pada waktu itu terjadi adagium: siapa kuat
dialah yang menang dan memiliki. Karena itu, bagi suku yang kuat maka merekalah
biasanya yang memiliki banyak budak (hamba sahaya). Lalu terjadilah transaksi
jual beli budak itu.
2)
Mengubur bayi
perempuan. Kaum perempuan waktu itu dianggap sebagai sarana reproduksi anak
atau pemuas keinginan biologis kaum pria. Pria yang memiliki banyak isteri
adalah kebanggaan. Karena dalam peperangan yang biasanya keras dan brutal itu
perlu kecepatan dan kelincahan gerak, maka kaum perempuan dianggap menyulitkan.
Karena itu jumlahnya dibatasi. Untuk itu, jika jumlah perempuannya sudah
dianggap cukup maka bayi perempuan dikubur hidup-hidup.
3)
Mengurangi
timbangan dan ukuran. Mata pencaharian terpokok waktu itu adalah berdagang.
Agar cepat dapat untung perdagangannya, maka mereka cenderung licik dalam
menimbang dan mengukur barang dagangannya.
4)
Menyembah
berhala. Untuk meraih keuntungan yang berlebih, mereka juga merasa perlu
meminta roh-roh nenek moyang dengan cara menyembah patung-patung (berhala) dari
batu yang dibuat sendiri.
5)
Melakukan
nujum nasib dan minum minuman keras, Mereka suka
sekali dalam hal ramal-meramal nasib, termasuk suka pesta lewat minum-minuman keras.
6)
Melakukan
tindakan riba. Yaitu melakukan utang piutang dengan
cara bunga-berbunga. Akibatnya sangat mencekik leher para peminjam utang. Dan masih banyak lagi hal-hal yang
bersifat negatif.
Dalam
kondisi seperti itulah Rasulullah SAW lahir dan hidup. Rasulullah SAW sangat
prihatin melihat kenyataan kehidupan sosial seperti itu. Oleh karena itu sangat
logis jika Rasulullah SAW memproklamasikan bahwa kerisalahannya (kebangkitannya
menjadi seorang rasul) adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak
masyarakat pada waktu itu. Jadi, kesadaran tentang akhlak sudah ada sejak
Rasulullah Saw masih hidup. Keteladanan Nabi Muhammad SAW juga dalam kerangka
pembangunan akhlak.
Dalam
perjalanan sejarah berikutnya, para ulama mulai mencoba mensistematisasikan
praktek akhlak al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah Saw ini. Tokoh yang mencoba
mensistematisasikan akhlak ini antara lain adalah Ibnu Miskawih (932-1030 M)
yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq.
Setelah itu disusul oleh Abu Ahmad al-Ghazali (1056-1111 M) dan lain
sebagainya. Sejak itu perhatian terhadap masalah akhlak terus berkembang,
apalagi setelah dunia Islam mulai berkenalan dengan filsafat Barat tentang
etika.
b.
Latar Belakang
Studi Tasawuf
Seperti
diketahui pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, tidak dikenal sebutan
tasawuf. Yang ada justru dari Rasulullah Saw ketika beliau mengintrospeksi
istilah “ihsan”, yang digandengkan dengan istilah “iman” dan “Islam”. Setelah
Rasulullah wafat masuklah ke zaman Khulafa’al-Rasyidin yang dalam
sejarah Islam dicatatkan 4 (empat) orang sahabat dekat Rasulullah yang
meneruskan pemerintahan (khalifah) Islam yang berpusat di Madinah. Sahabat Nabi
tersebut adalah, Abubakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan All bin Abi
Thalib. Setelah pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir, bergeserlah sistem
pemerintahan Islam itu mirip dengan kekaisaran Romawi atau Persia. Seiring
dengan mulai terjadinya pergeseran itu, nampaknya masalah kemewahan hidup yang
terpusat di pusat-pusat pemerintahan membuat gerah bagi sebagian umat Islam
waktu itu. Kelompok ini beranggapan bahwa cara dan gaya hidup para penguasa dan
para lingkaran elit waktu itu telah keluar dari contoh hidup dari Rasulullah
SAW. Kelompok inilah yang kemudian menyisihkan diri untuk mencermati ulang dan
mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Sikap menentang arus ini dimulai dari kota
Basrah dengan tokohnya antara lain Hasan al-Basri dan kota Kufah yang relative
disebut lebih pedalaman (dengan tokohnya Abu Hasyim al-Kufi).
Mula-mula
para penentang gaya hidup mewah tersebut melakukan amaliah nyata dalam kehidupan
sehari-hari sejauh kepahaman mereka tentang bagaimana cara hidup Rasulullah
Saw. Lama-kelamaan apa yang mereka lakukan itu dikemas dengan istilah-istilah
teknis, misalnya istilah maqam, hal, suluk dan sebagainya.
Dari sinilah mulai disiplin ilmu tasawuf.
Dalam
perjalanan selanjutnya, kehidupan sufistik itu kemudian melebar menjadi lembaga
tarekat setelah al-Ghazali mempopulerkan tentang tasawuf ini melalui
kewibawaan kitab-kitabnya. Lalu timbulah peristilahan yang lebih kompleks lagi,
seperti zawiyah, mursyid, muraqabah,
tawajjuh, wall dan sebagainya.
Kehidupan
tasawuf dan berbagai perkembangannya itu arahnya adalah
untuk menambah ketajaman umat Islam terhadap akhlak. Sehingga studi akhlak dan tasawuf di kalangan Sunni lebih
dikenal disiplin Ilmu Akhlak Tasawuf.
2. Fungsi Akhlak Tasawuf
a.
Fungsi Umum
Secara
umum fungsi akhlak tasawuf ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu, pertama
menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih
tersisa sampai sekarang dan kedua, memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang
ditangkap oleh manusia modern dewasa ini. Satu persatu akan digambarkan sebagai
berikut:
Untuk
aspek pertama, yaitu menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir
dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang. Maka akhlak tasawuf akan dapat
berfungsi sebagai:
1)
Mengembalikan
akhlak Rasulullah Saw menjadi acuan kehidupan sehari-hari umat Islam. Di sini,
format akhlak Rasulullah Saw harus menjadi koridor umat Islam terutama dalam
mengarungi lautan kenikmatan dan kemewahan kehidupan duniawi, agar tidak
kebablasan. Ini bukan harus kembali ke dalam padang pasir seperti zaman
Rasulullah Saw, melainkan agar umat Islam tidak jatuh ke dalam Lumpur
Kenikmatan dan kemewahan duniawi dan meninggalkan sifat religiusitas dan
kesederhanaan mereka. Fungsi pertama ini mencuat karena setiap kali para elite
pemerintahan dan perekonomian itu diingatkan lewat himbauan
keakhlakan Rasulullah Saw kebanyakan didengar sambil lalu. Akibatnya dari
pihak pengritiknya menjadi mengeras, tidak cair. Para petinggi pemerintahan dan
perekonomian ini lebih komitrnen terhadap “kekuasaan” daripada dakwah islamiyah
(dalam arti teknis).
2)
Menyeimbangkan
kehidupan duniawi yang serba hingar bingar dengan kehidupan spiritual yang
serba teduh dan hening. Atau dengan kata lain, memasukan nilai spiritualitas
terhadap setiap sektor kehidupan. Dengan adanya fungsi ini, sebagai misal,
mulai popular sebutan “fiqh sufistik”. Ini terjadi pada masa Al-Ghazali yang
mengintroduksi nuansa sufistik ke dalam fiqh agar pelaksanaan fiqh tidak sekedar
formalisme (yang kehilangan ruh). Spiritualitas, dalam fungsi ini, diharapkan
memberi warna untuk meningkatkan kadar religiusitasnya. Dunia pemerintahanpun
juga mulai diintervensi oleh al-Ghazali dengan akhlak tasawuf ini dengan cara
melayangkan surat-surat kepada para elitik di pemerintahan. Pada wilayah grass-root
(akar rumput) menyeruak kehidupan tarekat (dengan segala plus minusnya) agar
kehidupan berdasar akhlak tasawuf bisa menjadi imbangan bagi kehidupan para
elitik pemerintahan dan perekonomian. Di sini sudah terjadi pengkutuban antara
“elitik pemerintahan” dengan “populis kerakyatan” yang aberbasis pada akhlak
tasawuf. Untuk aspek pertama ini terdapat dampak yang kurang menguntungkan
pula, yaitu ketika lembaga tarekat masuk ke wilayah grass-root (akar
rumput) secara luas di tengah-tengah masyarakat. Dampak ini ialah timbulnya
proses-proses elitisasi dalam lembaga tarekat. Di dalamnya mulai menancap kuat
atratifikasi social antara lapisan yang disebut “mursyid” dengan lapisan yang
disebut “murid”. Hubungan dari kedua lapisan ini sangat vertikal
(paternalistik, kebapakan). Dengan demikian ada dua
lapisan social yang nampak, yaitu “pemerintah-rakyat” dan “mursyid-murid”.
Kalangan awam terjepit oleh pengaruh wibawa dua lapisan di atasnya, yaitu pemerintah
(dalam konteks pemerintahan), dengan mursyid (dalam konteks sosial
keagamaannya). Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi, terutama untuk
lembaga tarekat. Namun kenyataannya masih berlangsung sampai detik sekarang
ini. Adagium seperti “kewalian”, “keberkahan”, “kualat”, “karamah”, “weruh
sadurunge winarah” dan sebagainya masih terdengar nyaring sampai detik
sekarang ini. Jika hal ini terus menerus masih terjadi, maka akan menjadi batu
hambatan terkonstruksinya akhlak tasawuf yang lebih elegan (anggun) dalam
menghadapi perbaikan social di zaman global seperti sekarang ini.
Untuk aspek
kedua, akhlak tasawuf berfungsi sebagai:
3)
Peneduh jiwa
karena hilangnya kebermaknaan hidup dalam zaman kemajuan ilmu dan tekhnologi.
Dalam masyarakat yang sudah maju, nampaknya mulai timbul kemuakan dan kebosanan
serta rasa kekosongan makna hidup yang luar biasa. Piranti dan servis
kesejahteraan hidup hampir terpenuhi semuanya. Pasar, toko, super market
(bahkan sekarang mulai ada hyper market), mall, ruang pameran dan sebagainya
telah dipenuhi segala macam kebutuhan dan piranti hidup. Orang-orang modern
dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan oleh keadaan. Mereka menjadi merasa
kurang tertantang. Akibatnya kebosanan menjadi-jadi, alam kondisi jiwa dan
psikologis seperti itu nampaknya fungsi Pertama dari aspek ke dua ini menjadi
niscaya. Orang mengatakan hilangnya kebermaknaan hidup ini
pasti mengiringi bagi sebuah proses kemajuan yang secara terus menerus akan
diusahakan dan diraih oleh umat manusia, baik pada masa kini maupun masa
mendatang.
4)
Pengeram
psikologis dari kehidupan yang diwarnai penuh persaingan (kompetisi). Dalam
suasana seperti itu bagi kelompok manusia yang merasa kurang kuat dalam
bersaing, sementara tuntutan untuk ingin bersaing juga tidak surut, maka timbullah
stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam kondisi orang seperti ini maka
akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendor ketegangan psikisnya. Disinilah
fungsi kedua akhlak tasawuf untuk aspek kedua ini menjadi niscaya.
5)
Penguat
kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman yang maju dalam hal ekonomi, ilmu,
teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung menguat tajam. Bisa dikatakan citra
individualisme menguasai di seluruh sector kehidupan. Karena egoisme meninggi,
maka rasa keterancaman menjadi menguat. Orang lain yang sebenarnya menjadi
kawan justru dianggap sebagai lawan atau musuh yang dianggap terus mengintai
yang akan menyerangnya. Dalam kondisi seperti itu ketegangan psikologis (psychologicaltension)
menjadi meninggi, maka timbullah kecemasan (anxety), bahkan ketakutan (phobia).
Karena itu orang menjadi haus terhadap pemecahan apa yang harus dilakukannya.
Akhlak tasawuf mengajarkan perlunya kesadaran kebersamaan dalam kehidupan.
Bahwa di alam dunia yang fana ini tidak ada orang, kelompok, bangsa, bahkan
Negara yang dapat hidup senang sendiri dan dapat hidup sendiri. Yang ada adalah
adanya saling ketergantungan (dependency) satu sama lainnya. Jika
kesadaran kebersamaan hidup ini berhasil dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan,
maka kecemasan dan ketakutan akan menurun tajam. Ketika menghadapi orang lain,
maka tidak dianggap sebagai lawan atau musuh yang akan menyeranginya, melainkan
sebagai calon kawan dan teman untuk berbagi pendapat dan perasaan. Falsafah
Barat yang mengintroduksi pandangan individualisme, hak-hak asasi dan “pasar
bebas”, maka orang ingin menguasai sebanyak banyaknya dan kalau perlu
seluruhnya (kemilikan tunggal). Oleh karena itu akhlak tasawuf cenderung mampu
menjadi paying perlindungan akan mampu berkiprah dalam kondisi seperti ini.
Dalam akhlak tasawuf ditekankan prinsip “keadilan dan kesetaraan”. Dua prinsip
ini dalam dunia modern sekarang ini sering terjadi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan atau prakteknya.
Ada
sebuah tantangan untuk fungsi aspek ke dua akhlak tasawuf, yaitu adanya opini
baru dengan munculnya apa yang disebut “etika global”. Konsep ini dirilis
pertama kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas
Tubingen Jerman. Gagasan ini lalu di deklarasikan dalam forum pertemuan Parlement
of the World’s Religions (Parlemen Agama-agama Dunia). Teks
final deklarasi “etika global” ini ditanda tangani hampir 200 orang delegasi
agama-agama dunia. Dalam menghadapi perkembangan etika global seperti ini, maka
sudah semestinya studi akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah
lajunya dalam menghadapi perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan
social yang ada di dalamnya. Adalah tidak dapat diterima kalau
dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Islam (dengan symbol kerasulan Muhammad SAW)
adalah rahmatan lil ‘alamin, lalu daya paying akhlak tasawuf hanya
terbatas lingkupnya untuk umat Islam saja. Parlemen Agama-agama Dunia ketika
merumuskan deklarasi etika global berdasar kerjasama internasional secara
organisatoris yang rapih dan terencana. Bukan suatu kemustahilan jika umat
Islam akan merumuskan Akhlak Tasawuf untuk memenuhi tuntutan rahmatan lil
'alamin. Barangkali kuncinya terletak pada niat bulat, kemauan bekerja
keras dan manajemen kerja secara organisatoris yang rapih dan terencana dengan
baik. Inilah tantangan masa depan akhlak tasaawuf untuk masyarakat dunia modern
seperri sekarang ini ataupun untuk masa depan.
b.
Fungsi Khusus
Fungsi
akhlak tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa
manusia. Fungsi tersebut diantaranya adalah :
1)
Membersihkan
hati dalam berhubungan dengan Allah
Hubungan
manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasarannya jika
tidak dengan kebersihan hati dan selalu ingat dengan Sang Penciptanya.
Misalnya, dalam shalat. Shalat diperintahkan Tuhan, karena efeknya adalah
mencegah manusia dari berbuat tidak baik. Efek ini tidak dapat dicapai oleh
manusia jika shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan
kekhusy’an. Sebagaimana sabda Nabi: كم من قائم حظه من صلاته التعب و النصب
( رواه البيهقى )
Artinya :
Berapa banyak orang yang berdiri shalat, yang bagiannya dari shalatnya hanya
penat dan letih semata (HR. Baihaqy).
Maksud
hadits di atas adalah sesuatu yang menyebabkan shalatnya sia-sia yaitu karena
kekurangan “syarat bathin” dalam shalat. Syarat bathin itu adalah kebersihan
jiwa yang menjadi sumber ikhlas, khusyu’, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan
yang demikian itu maka diperlukan mempelajari ilmu akhlak tasawuf.
2)
Membersihkan
jiwa dari pengaruh materi
Kebutuhan
manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai
bathin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhan pula. Tubuh lahir manusia
akan merasa puas bila diberi makanan dengan protein nabati dan hewani, dengan
demikian ia akan sehat. Kebutuhan lahiriyah manusia erat hubungannya dengan
jiwanya. Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena adanya dorongan jiwa untuk
mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai ragam bahaya yang bisa
merusakannya, seperti panas, dingin dan sebagainya yang berasal dari makhluk
hidup lainnya. Untuk melindungi bahaya inilah pada mulanya manusia berpakaian,
memakai senjata dan lain-lain. Tetapi dewasa ini pakaian bukan lagi digunakan
untuk maksud pertama tadi. Kini pakaian dipakai untuk menjaga gengsi. Karena
itu dipilihlah mode-mode yang terbaru dan termodern. Mode-mode ini setiap bulan
selalu berubah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti rumah,
tempat tinggal, mobil, kursi dan alat-alat perabot lainnya. Orang pun sibuk
mencari uang untuk memenuhi kebutuhan lahiriyahnya saja. Akhirnya orang lupa
diri. Mereka tidak tahu akan kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan
lahiriyahnya saja yang dipengaruhi
nafsu. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah dengan membersihkan jiwanya.
Jalan untuk itu ialah dengan pelajaran agama, yaitu pada bidang akhlak tasawuf.
3)
Menerangi jiwa
dari kegelapan
Jiwa manusia
selalu gelisah, sebagaimana firman Allah. Swt:
لقد
خلقنا الانسان في كبد
Artinya: Kami
jadikan manusia itu bersifat keluh kesah.
Masalah
materi sering menjadi sangat besar pengaruhnya atas jiwa manusia. Benturan di
dalam mencari dan mengejar materi atau mengejar apa saja yang diinginkan
manusia sering menjadi masalah bagi manusia itu sendiri bahkan kemudian timbul
menjadi penyakit. Penyakit-penyakit seperti resah, cemas, patah hati sebagai
akibat dari masalah-masalah di atas (termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk
manusia seperti hasad, takabur dan sebagainya) hanya dapat disembuhkan dengan
obat yang datang dari ajaran-ajaran agama, khususnya ajaran yang berobyekan
bathin manusia yaitu akhlak tasawuf.
4)
Memperteguh
dan menyuburkan keyakinan beragama
Hati
akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu disirami dengan
pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah. Kekuatan umat Islam di masa rasul
bukan karena kekuatan fisik dan senjata, tetapi ialah pada kekuatan mental dan
spiritualnya. Sebaliknya kemunduran umat Islam di masa keemasannya bukan karena
akibat musuh semata, tetapi karena hidup materialis yang tidak lagi memperhatikan
kebutuhan jiwa. Bila ajaran akhlak tasawuf diberikan pada hamba Allah akan
bertambah subur pula keimanannya. Segala amal perbuatan akan membuahkan
kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain
5)
Mempertinggi
akhlak manusia
Dengan
memiliki hati yang suci dan bersih dan selalu di sirami dengan ajaran-ajaran
Allah dan Rasul-Nya maka akan semakin tinggi akhlak manusia. Ajaran akhlakul
karimah atau munjiyat di bahas secara panjang lebar dalam akhlak
tasawuf. Tujuannya adalah untuk membersihkan manusia dari akhlaqul madzmumah
atau al-Muhlikat. Pembersihan ini dinamai takhalli.
Bila
manusia ini telah kosong dari perangai-perangai tercela, maka memulainya dengan
diisi dengan akhlaqul al-karimah (akhlak yang terpuji) yang disebut takhalli.
Takhalli adalah menghiasi pribadi insan dengan keutamaan-keutamaan
(akhlak yang mulia). Bila seseorang telah dipenuhi perangai-perangai utama,
niscaya terbukalah tirai yang menghalanginya dari kebenaran Illahi. Bila tirai
telah terbuka antara manusia dengan Illahi dapatlah manusia itu mencapai
kelezatan beribadah kepada Tuhannya. Tersingkapnya tirai yang membatasi manusia
dengan Tuhannya dinamakan tajalli.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting di dalam kehidupan manusia. Bila
manusia tidak bermoral, maka turunlah martabat dari kemanusiaannya. Inilah
fungsinya mempelajari akhlak tasawuf.
Hal ini supaya manusia tetap menempati martabatnya sebagai manusia yang
ditugaskan Allah Swt menjadi khalifah di muka bumi ini.
Adapun fungsi mempelajari akhlak tasawuf yang sifatnya lebih tekhnis
adalah sebagai berikut:
a)
Untuk
meningkatkan kemajuan rohani. Dalam hal ini untuk menjaga kesetabilan mental
spiritual dalam menghadapi segala lika-liku kehidupan, termasuk di dalamnya
godaan dan cobaan hidup. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu
menghindarkan diri dari godaan atau cobaan hidup itu. Untuk menghadapinya perlu
kestabilan mental-spiritual yang baik.
b)
Untuk menuntun
ke arah kebaikan. Dalam kehidupan ini hampir tidak terhitung apa yang akan dan
sudah dikerjakan. Karena itu diperlukan rambu-rambu agar tidak terjerumus ke
dalam tindakan yang keliru. Sepanjang hidup manusia tidak pernah terhindar dari
jurang kekeliruan, mengingat sehebat-hebatnya manusia tetap saja, berdasar
penjelasan al-Qur’an, diciptakan dalam keadaan atau kondisi dlaif
(lemah).
c)
Untuk menopang
kesempurnaan iman. Lisan bisa mengatakan “aku telah beriman”, tetapi dalam
prakteknya iman senantiasa naik dan turun yang disebabkan faktor eksternal yang
dialami manusia dalam kehidupannya. Agar iman seseorang relative stabil, perlu
ditopang oleh pelaksanaan akhlak yang konsisten.
d)
Untuk
mempertajam tanggung jawab eskatologis. Yang dimaksud istilah “eskatologi” di
sini adalah hal-hal yang menyangkut setelah mati, seperti hari akhirat dengan
segala perangkatnya (dosa, pahala, surga, neraka dan sebagainya). Tanggung
jawab eskatologis ini “lebih mengancam” daripada sekedar ancaman pengucilan
masyarakat, ancaman hokum dan sebagainya.
e)
Untuk
mempertajam tanggung jawab sesama dalam kehidupan. Tanggung jawab ini misalnya
tanggung jawab terhadap keluarga, tetangga, rekan kerja, bangsa dan manusia
pada umumnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab itulah terdapat harga pribadi
seseorang, yaitu apakah diri seseorang itu berguna atau tidak.
f)
Untuk menjaga
martabat kemanusiaan seseorang. Bahwa dalam diri setiap orang ada unsur sifat
kebinatangan dan kemanusiaan, sifat kemanusiaan yang menonjol adalah kesadaran
untuk menyusun dan mau tunduk pada peraturan. Dengan peraturan itu lalu lintas
pergaulan menjadi lebih lancar dan tidak gampang menimbulkan salah paham yang
ujung-ujungnya berupa perselisihan bahkan perang. Sedang sifat kebinatangan
hanya berlaku hukum rimba yaitu, siapa kuat dialah yang menang.
KOMPONEN
AKHLAK TASAWUF
1.
Sifat Tercela
Dan Sifat Terpuji
Seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah harus terlebih
dahulu mengosongkan dirinya dari akhlak yang tercela kemudian mengisinya dengan
akhlak yang terpuji karena Allah adalah Dzat Yang Maha Suci hanya dapat
didekati oleh hamba-Nya yang suci jiwanya.
Berikut ini akan diuraikan sifat-sifat tercela yang harus dikosongkan
dalam diri manusia dan mengisinya dengan si terpuji.
- Macam-macam Sifat Tercela
Diantara
akhlak tercela yang harus dibuang dari jiwanya adalah:
1)
Hub al-Dunya
Hub
al-Dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut
istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhkat menjadi
sia-sia.
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa hubb al-dunya berarti mencintai kehidupan
dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Di sini timbul pertanyaan apa yang
dimaksud dengan dunia? Segala sesuatu yang tidak membawa manfaat di akhirat,
menurut K.H Ahmad Rifa’i, itulah yang dinamakan dunia, dan disebut juga dengan
dunia haram. Dengan perkataan lain bahwa dunia haram adalah hal-hal yang
bersifat duniawi yang tidak digunakan untuk mendukung taat beribadah kepada
Allah, sehingga keduniawian tersebut tidak bermanfaat untuk kehidupan di
akhirat. Begitu juga harta banyak yang halal tetapi tidak dibelanjakan di jalan
Allah, seperti tidak dikeluarkan zakatnya, tidak digunakan untuk infaq fi
sabilillah, dan tidak digunakan untuk shodaqoh, maka harta tersebut menjadi
fitnah dan termasuk dunia haram.
Sejalan
dengan pendapat KH. Ahmad Rifa’i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu
yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada
manusia yang diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya
al-Ghazali menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
(a) Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal
bersamanya sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun ilmu yang
dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya af’alNya,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan
langitNya, serta ilmu yang disyari’atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang
dimaksud di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata.
(b) Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan
kepada manusia yang langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan
pahala baginya di akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan
segala macam perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah
akan tetapi melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang
tercela.
(c) Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia
dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat,
seperti sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana
pokok demi kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan
kepada ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian,
dan kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal
perbuatan akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar
memperoleh keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk
taqwa kepada Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong
dunia. Memperhatikan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan dunia ialah segala sesuatu yang tidak dijadikan sarana untuk takwa
kepada Allah dan tidak membawa manfaat di akhirat.
Seseorang
yang mencintai dunia akan mengakibatkan dirinya banyak melakukan kesalahan dan
berbuat dosa seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia melupakan
Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan: “Cinta terhadap dunia
merupakan pangkal setiap kesalahan”. Dijelaskan juga dalam al-Qur’an: “Dan
celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat siksaan yang sangat pedih,
yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan
akbirat”.
Dengan
demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh
kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia,
seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat
yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati
seorang mukmin tidak boleh bergantung kepada kemewahan dunia karena hal tersebut
dapat melupakan Allah dan melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat. Berkaitan
hal ini K.H Ahmad Rifa’i mengatakan: Wajib berpaling dari dunia maksiat sunat
berpaling dari dunia halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh sunat
mengambil dunia halal yang dijadikan pertolongan untuk melakukan kebijakan yang
bermanfaat di akhirat wajib mengambil dunia yang diperlukan yang halal jika
tentu menolong taat terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat derajad.
Bait
nazam di atas menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau
meninggalkan dunia sebagai berikut :
a)
Berpaling dari
dunia maksiat, hukumnya wajib.
b)
Berpaling dari
dunia halal, hukumnya sunat.
c)
Meninggalkan
dunia makruh, hukumnya juga sunat.
d)
Mengambil
dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di
akhkat, hukumnya juga sunat.
e)
Mengambil
dunia halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong berbuat
taat melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajad keimanan, hukumnya wajib.
Pendapat
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi
bahwa dunia itu tak perlu dibenci secara berlebihan karena dunia merupakan
anugrah Allah yang perlu diterima, dinikmati, dan disyukuri, bukan harus
diingkari. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. Bersabda: الدنيا مزرعة
للأخرة
Artinya :
Dunia adalah kebun bagi akhirat.
2)
Al-Tham’
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-tham’ sebagai berikut: Yang dimaksud
tham’ menurut tarajumah adalah rakus hatinya. Sedang menurut istilah
adalah sangat berlebihan cintanya terhadap dunia tanpa memperhitungkan haram
yang besar dosanya.
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa tham' berarti sifat rakus yang sangat
berlebihan terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah
cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan
haram, yang penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia.
Sifat
rakus seperti itu, sangat tercela dan membahayakan bagi manusia. Karena ia
dapat mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri dan permusuhan antar sesama
manusia, serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa
kepada Allah dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat. Oleh
sebab itu, orang yang sangat rakus terhadap keduniawian menjadi orang yang
paling hina di sisi Allah. Sebab ia tidak lagi menyadari bahwa dirinya itu
hamba Allah yang seharusnya mengabdi kepada-Nya, melainkan menjadi budaknya
dunia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibrahim bin Ismail dalam kitabnya Syarb
Ta’lim al-Muta’lim berikut ini: هي الدنيا أقل من القليل و عاشقتها أذل من
الذليل
Artinya: Itulah dunia lebih
sedikit dari segala yang sedikit, dan orang yang rakus kepadanya lebih hina
dari orang-orang yang hina.
Sesuai
pula dengan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan al-Hakim
dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya melewati
seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda:
أنرون هذه الشاة هينه على أهلها؟ قالوا من هو
انها ألقوها قال و الذى نفسى بيده للدنيا أهون على الله من هذه الشاة على أهلها و
لو كانت الدنيا
Artinya: Tidaklah
kalian melihat kambing ini hina bagi pemiliknya? Para sahabat berkata: karena
kehinaannya, mereka melempar kambing itu Rasulullah bersabda: Demi
Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dunia itu lebih hina bagi Allah dari
pada kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya
dunia ini seimbang di sisi Allah dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak
memberikan minum kepada orang kafir seteguk air dari dunia. Menurut al-Ghazali
hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi.
Orang
yang sangat rakus terhadap keduniaan demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, tidak
akan pernah merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa,
sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Perumpamaan orang
yang rakus mengejar keduniawian adalah seperti orang yang meminum air laut
setiap bertambah meminumnya, maka semakin bertambah dahaga yang tidak ada rasa
puasnya bahkan sampai datang ajalnya kepada orang yang meminum air laut yang
asin.
Bait
nazham di atas mengibaratkan orang yang rakus terhadap keduniawian
seperti orang yang minum air laut. Semakin banyak ia minum, maka semakin
bertambah kuat rasa dahaganya, dan akhirnya ia mati karena perutnya penuh air.
Seperti inilah orang yang rakus terhadap keduniawian. Semakin banyak mengenyam
kemewahan dunia, maka ia semakin tergila-gila untuk mengejar kemewahan
tersebut. Ia tenggelam dalam kesibukan duniawi yang diduganya dapat memberikan
kebahagiaan hidup yang abadi. Pada akhirnya ia lalai kepada Allah dan lalai
terhadap kebahagiaan hidup yang sejati dan abadi di akhkat.
3)
Itba’ al-Hawa
Dalam
kitab Ri’ayat al-Himmat diungkapkan definisi Itba’ al-Hawa
sebagai berikut: Itba’ al-Hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa
nafsu adapun menurut Istilah syara’ berarti orang lebih
mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum syari’at itulah orang
mengikuti hawa maksiat.
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa
nafsu untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’.
Orang yang mengikuti hawa nafsu, demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, berarti
buta mata hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang yang seperti
ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia
melupakan kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat. Pendapat K.H. Ahmad
Rifa’i ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Shad ayat 26:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن
سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya : Janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ia menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa yang sangat pedih
karena mereka melupakan hari penghitungan. Oleh karena itu, hawa
nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’. Karena hawa
nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad
bin Ibrahim:
اصل كل الشرر ضاؤك عن نفسك مأوى الضر
Artinya : Setiap perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap
keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.
4)
Al-‘Ujb
Definisi
‘Ujb dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Ujb menurut
bahasa ialah membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah ialah
mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat.
Defenisi
di atas menunjukkan bahwa ‘ujb berarti membanggakan diri karena merasa
dapat terhindar dari siksa akhirat, bahkan menganggap wajib dirinya selamat
dari siksa akhirat.
Sifat
‘ujb ini tercermin pada rasa tinggi hatid (superiority complex)
dalam berbagai bidang, baik dalam bidang amal ibadah, keilmuan, kesempurnaan
moral, maupun yang lainnya. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i ‘ujb hukumnya
haram dan termasuk dosa besar karena merusak iman, sebagaimana diungkapkan
dalam bait Nazham berikut ini: ‘Ujb hukumnya haram dan dosa besar
dan sesungguhnya ulama Bal’am rusak imannya seperti apa diakhiri dengan
kekufuran.”
Ungkapan
di atas menegaskan bahwa ‘ujb merupakan dosa besar dan haram hukumnya.
Oleh sebab itu, sifat ‘ujb wajib dihindari dan ditinggalkan karena dapat
merusak iman. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah contoh yaitu Bal’am
seorang ulama yang beriman. Karena ia memiliki sifat ‘ujb maka rusaklah
imannya dan pada akhirnya ia tergolong orang kafir.
Pendapat
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Al-Bazzar, Ibn Hibban dan al-Baihaqi dari Anas : اصلو لم تذنبوا
لخشيت عليكم ما هو اكبر من ذلك العجب العجب
Artinya: Seandainya kamu tidak melakukan dosa, niscaya aku
(Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa yang lebih besar dari 'ujb
Dari
hadits di atas dapat dipahami bahwa ‘ujb merupakan perbuatan dosa yang
sangat berbahaya karena seseorang sering tidak sadar melakukannya. Dengan
perkataan lain, merupakan perbuatan dosa yang sangat halus karena ia tidak
nampak oleh mata, yang tahu hanya Allah dan diri pelakunya. Jika diperbandingkan
antara dosa ‘ujb dan dosa-dosa lainnya yang nampak oleh mata seperti
menyembah berhala (syirik), durhaka kepada orang tua, melakukan saksi palsu,
dan berbuat zina, maka dosa ‘ujb lebih berbahaya.
Pada
hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Anas, Rasulullah
Saw juga bersabda:
ثلاث مهلكات شح مطع و هوى متبع و إعجاب المرء بنفسه
Artinya: Tiga perkara
yang membinasakan, yaitu: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan
kekaguman seseorang pada dirinya.
Hadits
di atas menunjukan bahwa sifat ‘ujb termasuk salah satu dari tiga hal
yang dapat merusak iman. Oleh karena itu, sesungguhnya
celaka orang yang beriman yang memiliki sifat ‘ujb karena sifat ‘ujb
dapat merusak iman, sehingga ia menjadi yang merugi di hari kemudian. Dalam
surat al-‘Araf ayat 99, Allah Berfirman: أَفَأَمِنُواْ
مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya : Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang
tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa dari azab Allah kecuali orang-orang
yang merugi.
Hakekat
‘ujb, demikian al-Ghazali, adalah kesombongan yang terjadi di dalam
batin seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta dan
lain sebagainya pada dirinya. Jika seseorang takut kesempurnaan tersebut akan
lenyap dan dicabut oleh yang berhak (Allah), maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb.
Kemudian jika ia merasa gembira karena ia menganggap dan mengakui bahwa
kesempurnaan tersebut sebagai nikmat Allah dan karunia-Nya, maka berarti ia
tidak bersifat ‘ujb. Akan tetapi sebaliknya, jika ia menganggap bahwa
kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang
kemungkinan kesempurnaan tersebut kan lenyap, dan tanpa memikirkan siapa
pemberi kesempurnaan tersebut (Allah), maka inilah yang dimaksud dengan ‘ujb.
Uraian al-Ghazali ini dapat
dipahami bahwa 'ujb berarti menganggap besar terhadap suatu kemampuan atau
kesempurnaanjui seseorang tidak disandarkan kepada Dzat Pemberi kemampuan atau
kesempurnaan tersebut, melainkan ia menganggap bahwa kemampuan atau
kesempurnaan tersebut berasal dari dirinya sendiri.
Lebih
lanjut al-Ghazali mengungkapkan bahwa sifat ‘ujb sangat membahayakan
bagi diri seorang mukmin karena ia mengajak kepada lupa dosa kepada Allah dan
mengacuhkannya. Dosa yang pernah diperbuatnya tidak perlu diingat-ingat karena
dianggapnya masalah kecil bukan masalah besar. Ia membanggakan diri kepada
Allah dengan amal ibadah yang telah dikerjakannya, dengan kesempurnaan ilmu
yang telah dimilikinya, dengan harta kekayaan yang telah digunakan di jalan
Allah, dan lain sebagainya. Dengan demikian ia menyangka bahwa dirinya
memperoleh tempat di sisi Allah, dan menyangka bahwa dirinya dapat selamat dari
siksa akhirat. Namun demikian, ia melupakan siapa sebenarnya yang memberi
kekuatan untuk melakukan ibadah, siapa sebenarnya yang memberi karunia ilmu,
siapa sebenarnya yang memberi kekayaan kepadanya, dan lain sebagainya. Padahal
jika diteliti secara seksama, maka tidak ada artinya di sisi Allah kebanggaan
seorang ‘abid dengan ibadahnya, kebanggaan orang yang berilmu dengan
ilmunya, kebanggaan orang kaya dengan kekayaannya, dan seterusnya, karena semua
itu adalah karunia dari anugerah Allah, sedang manusia hanya sekedar tempat
dilimpahkannya karunia, anugerah dan kemurahan Allah Swt.
Dengan
demikian, sifat ‘ujb mengajak hati seseorang mukmin untuk mengingkari
nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya (kufr al-ni’mat).
Orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah bukannya akan memperoleh pahala,
melainkan akan memperoleh siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya. Sebagaimana
peringatan Allah dalam surat Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ
لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya: Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmatKu). Maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.
Memperhatikan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i sependapat dengan
al-Ghazali bahwa sifat ‘ujb merupakan dosa besar karena ia merusak iman
seseorang. Oleh karena itu hukumnya haram.
5)
Al-Riya’
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Riya’ sebagai berikut: Riya’
menurut bahasa ialah memperlihatkan amal kebajikannya kepada manusia, adapun
menurut istilah ialah melakukan ibadah dengan tujuan di dalam batinnya karena
demi manusia, dunia yang dicari tujuan ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa al-riya’ berarti memperlihatkan
amal kebajikan kepada orang lain. Dengan demikian bathin seseorang dalam
melaksanakan amal ibadah atau amal kebajikan tidak bertujuan semata-mata karena
Allah, melainkan karena manusia, yakni dengan memperlihatkan amal ibadahnya
kepada manusia agar memperoleh pujian, penghargaan, kedudukan, popularitas, dan
lain sebagainya dari mereka dengan tujuan ingin mengejar keduniawian semata.
Senada
dengan definisi yang dikemukakan K.H. Ahmad Rifa’i diatas, al-Ghazali
menjelaskan bahwa al-riya’ berasal dari kata al-ru’yat yang
berarti melihat. Pada dasaranya, al-riya’ adalah mencari kedudukan di
hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka beberapa hal kebajikan. Hanya
saja kedudukan di hati manusia itu kadang-kadang dicari dengan amal-amal
perbuatan selain ibadah, dan kadang-kadang dicari dengan amal-amal ibadah.
Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan al-riya’ adalah keinginan
seseorang untuk memperoleh kedudukan di hati manusia dengan cara mentaati
perintah-perintah Allah.
Dengan
demikian, inti kedua definisi di atas menunjukan bahwa al-riya’ berarti
niat seseorang dalam melaksanakan ibadah bukan karena Allah melainkan karena
manusia. Perbuatan riya’ ini, demikian K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan
perbuatan dosa besar dan haram hukumnya, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut
bait nazam di atas: Itulah dosa besar di dalam hati dan hukumnya haram
juga merupakan tanda-tanda perbuatan orang kafir munafik orang beribadah wajib
waspada menjauhi haramnya riya’ jangan sampai dilakukan.
Ungkapan
di atas menjelaskan bahwa al-riya’ termasuk dosa besar dan hukumnya
haram. Orang yang memiliki sifat ini berarti ia mengikuti perbuatan orang kafir
dan munafiq. Oleh sebab itu, sifat riya’ harus ditinggalkan bagi orang
mukmin, agar keimanannya tidak rusak. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Hakim dari Syadad bin Aus: Aku (Nabi) sangat
mengkhawatirkan umatku melakukan perbuatan syirik.
Padahal
mereka tidak menyembah berhala, matahari, bulan, batu, akan tetapi mereka
berbuat riya’ (memperlihatkan) perbuatan mereka pada orang lain.
Hadits
di atas dapat di pahami bahwa perbuatan riya’ seimbang dengan perbuatan
syirk. Mengapa demikian? Karena jika seorang hamba dalam melakukan ibadah
kepada Allah disertai dengan riya’ maka berarti ia telah menyekutukan
Allah dan ibadahnya, maka amal ibadahnya tidak diterima di sisi Allah,
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Malik
dari Abu Hurairah: Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena Aku (Allah)
yang di dalam perbuatan itu ia menyekutukanKu, maka semua perbuatan itu
untuknya, dan Aku bebas dari perbuatan itu. Aku adalah paling kaya di antara
semua yang kaya dari kesekutuan.
Pada
hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad bin al-Baihaqi dari Mahmud bin Lubaid,
Rasulullah bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terhadapmu
adalah syriik kecil. Para sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan syirik
kecil? Rasulullah bersabda: Riya’. Allah Azza wa Jalla berfirman di hari
kiamat ketika membalas hamba-hambaNya dengan amal perbuatan mereka: pergilah
kamu kepada orang-orang yang kamu perlihatkan amal perbuatanmu kepada mereka di
dunia. Maka lihatlah. Apakah kamu mendapatkan balasan dari mereka?
Dalam
pada itu K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ ke dalam dua tingkatan,
sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Dan riya’
itu ada dua macam. Pertama, riya’ khalish namanya seperti halnya tidak
menjadikan dekat kepada Allah (qurbat) di dalam hatinya melainkan
tujuannya karena demi manusia. Kedua, riya’ syirk tempatnya seperti
halnya menjadikan niat untuk dekat kepada Allah (qurbat) karena memenuhi
permintaan Allah yang menjadi tujuan dan sekutu di dalam batin demi karena
manusia dan berarti bercampur.
Ungkapan
di atas dapat dipahami bahwa riya’ terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a)
Riya’ Khalish, yakni niat
seseorang dalam melaksanakan ibadah semata-mata untuk memperoleh pujian,
kedudukan dan lain sebagainya dari manusia, serta tidak bertujuan untuk dekat
dengan Allah.
b)
Riya’ Syirk, yakni niat
seseorang dalam melaksanakan ibadah karena terdorong
untuk memenuhi permintaan Allah serta terdorong
pula untuk memperoleh pujian dan kedudukan dari manusia.
Dengan lain perkataan, niatnya bercampur antara niat
karena Allah dan niat karena manusia.
Memperhatikan
penggolongan al-riya’ tersebut, dapat dikatakan bahwa riya’ syirk
nampaknya lebih ringan dosanya dibanding dengan riya’ khalish, karena
dalam riya’ syirk masih terlintas niat di dalam hati untuk memenuhi
perintah Allah, akan tetapi sudah bercampur antara niat karena Allah dan niat
karena manusia. Namun demikian kedua macam riya’ tersebut merupakan dosa
besar.
Disamping
kedua macam riya’ tersebut di atas, K.H. Ahmad Rifa’i masih
menggolongkan riya’ menjadi dua bagian-lagi, riya’ jali dan riya’
khafi. Kedua macam riya’ tersebut sulit dihindari kecuali oleh orang
yang sudah mencapai derajat mengenal Allah (Arif bi Allah). Sebagaimana
dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim: Tidak ada yang dapat selamat dari riya’
jali dan riya’ khafi kecuali orang yang arif meng-Esakan
Allah, karena Allah telah mensucikan mereka dari syirik sekecil apapun.
Sedangkan
riya’ khafi (riya’ yang tersembunyi) terbagi menjadi dua
tingkatan:
a)
Riya’ yang lebih
sedikit tersembunyi dari pada riya’ jali, yaitu riya’ yang tidak
mendorong seseorang untuk melakukan amal ibadah dengan tujuan semata-mata demi
memperoleh pahala, melainkan riya’ tersebut meringankan seseorang untuk
melakukan amal ibadah, yang dengannya ia berkehendak menuju kepada Allah.
Misalnya orang yang membiasakan shalat tahajjud setiap malam dan ia merasa
berat. Apabila ada tamu di rumahnya, maka ia merasa tekun dan merasa ringan
dalam menjalankan shalat tahajjud.
b)
Riya’ yang lebih
tersembunyi lagi ialah riya’ yang tidak membekas pada amal perbuatan,
serta tidak memudahkan dan meringankan seseorang untuk melakukan amal ibadah,
akan tetapi ada sesuatu yang membekas di dalam bathin. Oleh karena riya’
tingkatan ini tidak membekas pada amal perbuatan, maka sulit untuk mengetahui riya’
ini kecuali melalui tanda-tandanya. Adapun tanda-tandanya yang paling jelas
adalah bathin seseorang merasa senang dan gembira, jika ketaatannya kepada
Allah dilihat oleh manusia.
6)
Al-Takabbur
Definisi
al-takabbur dikemukakan dalam kitab Abyan al-Hawa’ij sebagai berikut: Takabbur
menurut bahasa berarti sombong karena merasa luhur, adapun menurut makna
istilah adalah menetapkan kebijakan pada diri sendiri ada
sifat baik dan luhur sebab banyak harta atau kepandaiannya.
Definisi di atas menunjukan bahwa
takabbur berarti menganggap dirinya besar dan mulia (sombong) yang disebabkan
oleh adanya kebajikan atau kesempurnaan pada dirinya baik berupa harta banyak
yang dimilikinya, ilmu yang dikuasainya, maupun hal-hal lainnya.
Sedangkan
menurut Rifa’i takabbur adalah menolak kebenaran ilmu dan menghina
manusia yang tidak ada kejelekannya itulah yang dinamakan takabbur dosa
besar bathinnya orang yang menghina agama Allah menjadi kafir.
Pendapat
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim, Abu daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah: Allah ta’ala berfirman:
“Kesombongan itu kain selendang-Ku dan kebesaran itu kain sarung-Ku.
Barangsiapa menentang (menyaingi) Aku dengan melakukan dua hal tersebut,
niscaya Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan tidak Aku pedulikan”
Pada
hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Umar,
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa di dalam hati riya’ ada
kesombongan sekecil apapun, Niscaya Allah menelungkupkan wajahnya ke dalam api
neraka”.
7)
Al-Hasd
Definisi al-hasd
diungkapkan dalam kitab Ri’ayat al-Himmat sebagai berikut: Hasd menurut
bahasa berarti dengki, sedang istilah syara’ berarti, mengharapkan sirnanya
kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu,
ibadah yang sah dan jujur, harta, maupun yang semisalnya.
Sementara al-Ghazali memberikan
definisi, hasd adalah benci kepada kenikmatan dan menyukai hilangnya
kenikmatan itu dari orang Islam yang diberi kenikmatan tersebut. Dengan
demikian hasd berarti mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain.
Hasd harus dihindari dan ditinggalkan karena merupakan dosa
besar dan haram hukumnya. Orang yang memiliki sifat hasd akan disiksa di
neraka Jahim, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazham: Adalah
dosa besar wajib mundur/meninggalkannya kemudian taubat, dosanya akan lebur
orang yang hasd disiksa di neraka Jahim takutlah terhadap siksa yang
abadi berlindunglah kepada Allah dari sifat hasd yang haram menurut
hukum syara’. Ungkapan di atas menegaskan bahwa hasd hukumnya
haram karena sifat hasd menentang ketentuan Allah (qadr), dalam
arti tidak ridha terhadap kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah bagi-bagikan
kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini dapat dipahami dari hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Anas: اكاد الفقر ان يكون الكفر و كاد
الحسد ان يغلب القدر
Artinya : Kemiskinan
itu nyaris menjadi kekufuran, dan kedengkian itu nyaris mengalahkan ketentuan
Allah (qadr).
Dalam pada itu hasd
dapat menghancur leburkan seluruh amal kebajikan yang telah dilakukan oleh
seorang hamba, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu
Hurairah:
إياكم و الحسد
فإن الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
Artinya : Hindarilah
sifat hasd, karena sifat hasd itu memakan amal-kebajikan seperti api yang
memakan kayu bakar. Inilah diantara hal-hal yang menyebabkan hasd
menjadi hukumnya haram.
8)
Al-Sum’ah
Definisi
al-sum’ah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sumah
menurut bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah
adalah melakukan ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha
Pengasih dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain
supaya orang lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan
haram. Hatinya tidak ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju
karena dunia itulah sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal
kebajikan.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang
telah dilakukan oleh seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan
dengan niat yang ikhlas karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut
ditutur-tuturkan atau diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain
memujinya dan menghormatinya. Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia
telah mencampur adukan antara niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat
penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali: لا تظهر الفضلة كالعلم و الطاعة Artinya : Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat
keutamaan ilmu dan ketaatan. Allah berfirman dalam surat al-Najm, ayat 32:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ
Artinya : Maka
janganlah kamu kamu mengatakan dirimu suci.
Disini timbul pertanyaan:
bagaimana jika seseorang menampakan sifat keutamaannya baik ilmunya yang luas,
budi pekertinya yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada Allah, maupun
yang lainnya dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya atau agar orang
lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam
hal ini K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan
niat yang baik, yakni untuk memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan
perbuatan yang tercela dan melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk
memberi contoh agar orang lain mau mengikuti jejaknya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang utama, maka sum’ah seperti ini diperbolehkan,
bahkan pelakunya akan memperoleh pahala yang besar. Syaratnya jangan sampai
terbetik di dalam hati untuk memperoleh penghormatan dari manusia. Hal ini
sejalan dengan firman Allah dalam surat ad-Dhuha: وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ
فَحَدِّثْ
Artinya : Dan terhadap nikmat
Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah
dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi
terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk
memamerkan keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia,
maka sum’ah tersebut menjadi tercela.
- Macam-macam Sifat Terpuji
Di antara
akhlak terpuji yang harus diisi dalam jiwa manusia adalah:
1)
Az-Zuhd
Menurut pandangan sufi, hawa nafsu duniawi merupakan sumber kerusakan
moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang terhadap hawa nafsunya
mengakibatkan kebrutalan tindakan manusia dalam mengejar kepuasan nafsu.
Agar dapat terbebas dari godaan dan
pengaruh hawa nafsunya, maka harus melakukan zuhd.
Dalam mengartikan zuhd, ternyata para sufi berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman mereka masing-masing. Namun secara umum dapat diartikan bahwa
zuhd merupakan suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap
duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sementara itu K.H. Ahmad Rifa’i
mengartikan zuhd sebagai berikut: Zuhd menurut terjemah bahasa jawa
adalah bertapa di dunia, menurut istilah syara’ adalah bersiap-siap di dalam
hati untuk beribadah memenuhi kewajiban yang luhur sebatas kemampuan menghindar
dari dunia haram zhahir dan batin menuju kepada Allah dengan benar mengharap
kepada Allah untuk memperoleh surga-Nya yang luhur. Dari pengertian di atas
dapat dipahami bahwa zuhd berarti kesediaan hati untuk melaksanakan
ibadah dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban syari’at, meninggalkan dunia
yang haram, dan secara lahir batin hanya mengharap ridha Allah Swt, demi
memperoleh surgaNya. Dijelaskan pula bahwa zuhd bukan berarti
mengosongkan tangan dari harta, melainkan mengosongkan hati dari ketergantungan
pada harta. Karena keduniawian dapat memalingkan hati manusia dari Allah Swt.
Memperhatikan uraian tentang pengertian zuhd atas, tampak secara
jelas bahwa ajaran zuhd K.H. Ahmad Rifa'i masih berkaitan erat dengan
tujuan syari’at. Berbeda dengan pengertian zuhd yang dikemukakan oleh
sebagian sufi, seperti Abu Ali al-Daqqaq dan Yahya bin Mu’adz al-Razi
mengartikan zuhd sebagi berikut:
الزهد أن تشرك الدنيا كما هي لا تقول أبني رتاطا
او ابنى مسجدا
Artinya : Zuhd adalah engkau meninggalkan keduniawian secara total,
jangan berkata bagaimana aku membangun sebuah Ribath atau membangun sebuah
masjid.
Pengertian zuhd di atas sangat berlebihan karena tidak hanya sampai
batas meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang
mubah, melainkan sampai kepada meninggalkan perbuatan yang baik.
Sementara itu, menurut Ibn Taimiyah zuhd itu ada dua macam, yaitu:
a)
Zuhd yang sesuai
dengan syariat’, adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
b)
Zuhd yang tidak
sesuai dengan syari’at, adalah meninggalkan segala sesuatu yang dapat menolong
seorang hamba untuk taat beribadah kepada Allah.
Pengertian zuhd yang sejalan dengan syari’at sebagaimana firman
Allah dalam surat Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
kenikmatan duniawi.
Adapun tanda-tanda orang yang telah memiliki sikap zuhd adalah:
a) Senantiasa melakukan amal shaleh
b) Jika bertambah ilmunya, maka harus bertambah pula sifat
c) Tidak tergiur dengan keduniawian, karena keduniawian
merupakan tipu daya, godaan dan fitnah
d) senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat, karena Allah
berjanji akan memberikan kecukupan untuk kepentingan dunia dan agamanya
e) Tidak merasa tentram dan tenang jika ketika melihat segala
yang wujud di dunia ini hatinya tidak hadir di hadapan Allah.
f)
Jika dipuji
oleh manusia, maka hatinya menjadi susah karena khawatir kalau-kalau amal
kebajikannya berubah menjadi riya’ dan haram.
Adapun keutamaan orang yang melakukan Zuhd adalah:
(1) Pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang zahid
dilipat gandakan oleh Allah Swt.
(2) Seorang yahid akan memperoleh ilmu dan petunjuk langsung dari
Allah tanpa belajar.
Uraian di atas dapat di pahami bahwa inti zuhd adalah bukan
meninggalkan keduniawian secara total, melainkan meninggalkan keduniawian yang
tidak dapat membawa manfaat di akhirat.
2)
Al-Qana’ah
Definisi
Qana’ah menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah hatinya tenang memilih ridha Allah
mengambil keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat
memenuhi kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.
Dalam
menguraikan sifat qana’ah ini K.H. Ahmad Rifa’i mengaitkan dengan kefakiran
(kemiskinan). Keutamaan orang fakir yang memiliki sifat qana’ah sebagai
berikut:
a) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, derajatnya lebih
tinggi di hadapan Allah dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki
sifat qana’ah.
b) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, lebih dahulu masuk
surga dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah meskipun
sama-sama beribadah.
c) Orang fakir yang secara lahiriyah sedikit melakukan amal
ibadah akan memperoleh pahala yang besar dari pada orang kaya yang secara
lahiriyah banyak melakukan amal ibadah dan banyak bersedekah, karena orang
fakir itu memiliki sifat qana’ah artinya telah ridha untuk berpaling dari
keduniawian.
3)
Al-Shabr
Salah satu
sikap sufi yang fundamental bagi para sufi dalam usahanya untuk mencapai tujuan
adalah shabr. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i, Shabr secara bahasa
adalah menanggung kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara
yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh
ketaatan, yang kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan
maksiat zhahir bathin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati
ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar (Rifa’i, Riayat,
Juz II:30).
Definisi di
atas dapat dipahami bahwa sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi
berbagai macam kesulitan, yang antara lain:
(a) Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam melaksanakan
ibadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban syariat
dengan sungguh-sungguh.
(b) Kemampuan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat yang
disertai dengan taubat baik secara lahir maupun bathin
(c) Kemampuan untuk menghadapi kesulitan ketika tertimpa musibah
tanpa berkeluh kesah.
Orang
mukmin yang sabar dalam menghadapi berbagai macam
kesulitan sebagaimana tersebut di atas akan
memperoleh pahala yang tak terhingga dari sisi
Allah Swt. Hal ini sesuai janji Allah
dalam surat al-Zumar ayat 10: إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.
Ungkapan K.H.
Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan perkataan al-Ghazali: الصبر نصف
الايمان
Artinya : Sabar itu adalah setengah dari iman.
4)
Al-Tawakkal
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Tawakal sebagai berikut, Tawakkal bukan
berarti hanya pasrah kepada Allah tanpa melakukan ikhtiar dan meninggalkan
usaha mencari rizki sekedarnya melainkan sebatas kemampuan tidak boleh tidak
harus berusaha memerangi hawa nafsu lainnya yang mengajak kepada kerakusan
terhadap dunia karena hal ini (rakus terhadap dunia) menjadi pasukan hawa nafsu
sendiri juga menjadi fitnah yang sangat buruk dan tidak hilang tawakkal
seseorang yang berusaha mencari obat untuk menyembuhkan sakitnya juga wajib
menolak maksiat mencari rizki untuk menolong ibadah.
Ungkapan
diatas menunjukan bahwa tawakal bukan berarti hanya pasrah menunggu ketentuan
Allah tanpa melakukan ikhtiar serta meninggalkan usaha mencari rizki
secara total. Tetapi tawakal adalah berserah diri kepada Allah yang disertai
dengan ikhtiar dan usaha mencari rizki seperlunya untuk keperluan ibadah kepada
Allah, serta memerangi hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan dan ketamakan
terhadap keduniawian, karena hal tersebut merupakan fitnah yang sangat buruk
dan dapat membawa kesengsaraan manusia. Oleh karena itu seseorang yang tertimpa
musibah sakit, misalnya, maka ia tidak berdiam diri hanya menunggu ketentuan
Allah, melainkan harus berusaha mencari obat terlebih dahulu, baru kemudian
sepenuhnya kepada ketentuan Allah. Dengan demikian tawakal bukan berarti
berserah diri hanya menunggu ketentuan Allah melainkan sifat yang menjiwai
usaha seseorang. Hal ini sejalan dengan ungkapan Muhammad bin Ibrahim: و من علم أن
الامور بيده إنجمع بالتوكل عليه
Artinya: Barangsiapa mengetahui
bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah, maka ia akan berserah diri
sepenuhnya kepada Allah.
Dijelaskan
pula, bahwa manusia harus berserah diri kepada Allah semata, tidak boleh
berserah diri kepada selain Allah, karena dengan berserah diri kepada Allah ia
akan mendapat petunjuk jalan yang lurus. Jika manusia berserah diri kepada
selain Allah, maka ia akan menjadi sesat dan akan menambah dosa yang lebih
berat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud
ayat 56:
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي
وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي
عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya aku
berserah diri kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada seekor binatang
melata pun melainkan dia yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di
atas jalan yang lurus.
5)
Al-Mujahadah
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Mujahadat sebagai berikut: Mujahadat
menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh terhadap suatu perbuatan yang dituju
menurut istilah berarti bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah-perintah
Allah memenuhi kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan sekuat tenaga, baik
secara lahir maupun bathin.
Dengan
perkataan lain, mujahadah berarti bekerja keras dan berjuang melawan
keinginan hawa nafsu, berjuang melawan bujukan syaitan, berjuang menjauhi
godaan-godaan syaitan, dan berjuang menundukkan diri agar tetap di dalam
batas-batas syara’ untuk mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan
larangan-larangannya. Hal ini senada dengan ungkapan al-Syarqawi: bahwa pangkal
setiap kemaksiatan, syahwat, dan kelengahan adalah menuruti hawa nafsu.
Sedangkan pangkal setiap ketaatan, kesadaran, kehati-hatian adalah tidak
menuruti hawa nafsu.
Lebih
lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa mujahadah tidak terbatas hanya
memerangi musuh bathiniah (hawa nafsu), akan tetapi juga mencakup
bersungguh-sungguh dalam memerangi musuh lahiriyah, yakni orang kafir yang
nyata-nyata hendak menghancurkan Islam. Memerangi orang kafir semacam ini
merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam (Rifa’i, Riayat, Juz II:137).
Sebagaimana dalam surat al-Ankabut ayat 69: وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya: Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan ditunjukan kepadanya
jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.
6)
Al-Ridha
Definisi
al-Ridha menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut: Ridha
menurut bahasa adalah menerima kenyataan dengan suka hati adapun menurut
istilah adalah menerima segala pemberian Allah dan menerima hukum Allah, yakni
syari’at wajib dilaksanakan dengan ikhlas dan taat dan menjauhi kejahatan
maksiat dan menerima terhadap berbagai macam cobaan yang datang dari Allah dan
yang ditentukanNya.
Dari
ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ridha berarti menerima dengan
tulus segala pemberian Allah, hukumNya (syari’at), berbagai macam cobaan yang
ditakdirkanNya, serta melaksanakan semua perintah dan meninggalkan
sernua laranganNya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, baik secara lahir
maupun bathin.
Seorang
mukmin harus ridha terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada
hambanya karena segala sesuatu tersebut merupakan pilihan yang paling utama
yang diberikan Allah pada hambanya. Sehingga tanda-tanda orang mukmin yang sah
imannya diantaranya adalah orang mukmin yang ridha dalam menerima segala
hukum Allah, perintah, larangan, dan janjiNya. Hal ini sejalan dengan Hadits
Qudsi yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dan Ibnu Hihban dari Anas: “Barang
siapa tidak ridha terhadap ketentuan-ketentuan-Ku, tidak mensyukuri
nikmat-nikmat-Ku, dan tidak sabar terhadap cobaan-cobaan-Ku, maka keluarlah
dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku”.
7)
Al-Syukr
Definisi
syukr menurut K.H. Ahmad Rifa’i, secara bahasa adalah senang hatinya
sedang menurut istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang diberikan oleh
Allah yakni nikmat iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang
sebenarnya yang memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan
oleh Allah itu digunakan untuk berbakti kepadaNya sekurang-kurangnya memenuhi
kewajiban dan meninggalkan maksiat secara lahir dan bathin sebatas kemampuan.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa inti syukr adalah mengetahui dan
menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena
itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat
Allah, karena orang yang mensyukuri nikmat Allah, maka akan ditambah
nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana Allah berfirman dalam
surat Ibrahim ayat 7 yang artinya: Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka
sesungguhnya siksaKu sangat pedih.
Adapun
untuk mensyukuri nikmat Allah ada tiga cara :
a)
Mengucapkan
pujian kepada Allah dengan ucapan al-hamdulillah.
b)
Segala
kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya harus dipergunakan untuk
berbakti (beribadah) kepada Allah.
c)
Menunaikan
perintah-perintah syara’ minimal ibadah wajib dan
meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan bathin.
8)
Al-Ikhlas
Al-Ikhlas menurut K.H.
Ahmad Rifa’i didefinisikan sebagai berikut: Ikhlas menurut bahasa adalah bersih
sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada Allah
semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain Allah.”
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas menunjukan kesucian hati untuk
menuju kepada Allah semata. Dalam beribadah, hati tidak boleh menuju kepada
selain Allah, karena Allah tidak akan menerima ibadah seorang hamba kecuali
dengan niat ikhlas karena Allah semata dan perbuatan ibadah itu harus sah dan
benar menurut syara’.
Ikhlas
dalam ibadah ada dua macam, apabila salah satunya atau kedua-duanya tidak
dikerjakan, maka amal ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah. Rukun ikhlas
dalam beribadah ada dua macam. Pertama, perbuatan hati harus dipusatkan menuju
kepada Allah semata dengan penuh ketaatan. Kedua, perbuatan lahiriyah harus
benar sesuai dengan pedoman fiqh. Sebagaimana dalam surat al-Bayyinat ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas dalam (menjalankan) agama
dengan lurus.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan sifat ikhlas menjadi tiga
tingkatan:
a)
Ikhlas ‘awwam, yakni
seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh rasa takut
menghadapi siksaanNya yang amat pedih, dan didorong pula oleh adanya harapan
untuk mendapatkan pahala dariNya.
b)
Ikhlas
khawwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena
didorong oleh adanya harapan ingin dekat dengan Allah dan karena didorong oleh
adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu dan kedekatannya kepada Allah.
c)
Ikhlas
khawwash al-khauwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah yang
semata-mata didorong oleh kesadaran yang mendalam untuk mengEsakan Allah dan
meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, serta
bathin mengekalkan puji syukur kepada Allah.
Demikian pemaparan tentang delapan sifat terpuji yang wajib diamalkan oleh
setiap hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dan delapan sifat
tercela yang wajib ditinggalkannya, yang dalam istilah tashawwuf disebut
dengan maqamat. Ajaran tashawwuf yang hanya sampai batas
pendidikan akhlaq untuk mencapai kesucian hati ini disebut tashawwuf akhlaqi.
Seorang hamba yang mencapai kesucsian hati sesuci-sucinya akan memperoleh
anugerah Allah baik berupa mahabbat, qurb, ma’rifat,
ataupun lainnya yang dalam istilah tashawwuf disebut ahwal.
- Al-Mahabbat, al-Qurb, dan al-Ma’rifat
Al-mahabbat, al-qurb,
dan al-ma’rifat terkadang dipandang sebagai maqamat dan terkadang
dipandang sebagai ahwal. Sebagai contoh misalnya, bagi al-Junaid, ma’rifat
termasuk kategori ahwal, sedangkan menurut al-Qusyairi, ma’rifat
termasuk kategori maqamat. Bagi al-Ghazali, ada perbedaan susunan antara
ma’rifat dan mahabbat. Menurutnya, mahabbat diperoleh
sesudah ma’rifat sedangkan al-Kalabadzi menegaskan bahwa mahabbat
diperoleh sebelum ma’rifat.
1)
Al-Mahabbat
Al-Mahabbat, Al-hubb
atau al-mababbat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya
atau apa yang diduganya baik.
K.H.
Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah adalah berbakti
kepada-Nya dengan jalan mematuhi semua perintah-Nya dan meninggalkan semua
larangan-Nya, jika melakukan dosa harus segera bertaubat.
Adapun
tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah, menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah
sebagai berikut:
a)
Ia senantiasa
mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad, karena dengan demikian berarti ia telah
mencintai Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 31,
yang berbunyi: “Katakanlah (hai Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”
b)
Ia senantiasa
ikhlash dalam mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan,
karena ikhlash merupakan ruhnya ibadah.
Cinta kepada
Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlash, yakni tidak merasa berat
dalam mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah, bagi K.H.
Ahmad Rifa’i merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.
Inti paham mahabbat
K.H. Ahmad Rifa’i adalah mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua
larangannya dengan tulus ikhlash. Paham mahabbatnya hanya sebatas cinta
antara seorang ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (Yang Disembah).
Masih ada jarak antara seorang hamba dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih
yang mempunyai persamaan derajad (munasabat). Paham mahabbatnya
masih sangat erat kaitannya dengan syari’at.
2)
Al-Qurb
Adapun
ajarannya tentang al-qurb menurut K.H. ahmad Rifa’i ialah dekatnya hati
seorang hamba dengan Allah, sehingga ia mampu menyaksikan keagungan dan
kemuliaan-Nya. Ketika ia melihat segala sesuatu yang ada di alam ini, maka
hatinya senantiasa merasakan bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan Allah dan
perbuatan-Nya.
Hamba
yang telah mencapai derajad kedekatan Allah, maka mata hatinya mampu memandang
keagungan-Nya karena Allah benar-benar dekat dengan dirinya. Di samping itu,
mata hati mampu melihat Allah semata yang memiliki perbuatan atas segala
sesuatu. Adapun cara untuk berada dekat dengan Allah, K.H. Ahmad Rifa’i
menjelaskan sebagai berikut:
a)
Seorang hamba
yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya ia keluar dari dirinya.
b)
Seorang hamba
yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa ingat kepada-Nya,
karena kelalaian seorang hamba kepada Allah menjadikan dirinya jauh dari Allah.
c)
Seorang hamba
yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa menyandarkan diri
pada anugerah dan rahmat Allah.
Jika
seorang hamba telah berada dekat dengan Allah, maka ia merasa yakin bahwa Allah
itu senantiasa hadir bersamanya di mana pun dan dalam kondisi apapun, serta ia
yakin bahwa Allah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang akan menimpa
dirinya karena ia melihat bahwa segala sesuatu itu baik berupa kenikmatan
maupun malapetaka merupakan perbuatan Allah. Oleh karena itu, ia senantiasa
menyandarkan diri kepada anugerah dan rahmat Allah.
Konsep
qurb K.H. Ahmad Rifa’i termasuk kategori ahwal, karena konsep qurbnya
merupakan anugerah Allah yang diperoleh tanpa wujud usaha, bukan diperoleh
melalui proses pembinaan akhlak (maqamat).
Menurutnya,
bahwa Allah itu memang sangat dekat dengan hambanya, bahkan Allah mengetahui
apa saja yang terdapat dalam lahiriah dan batiniah manusia, sedangkan manusia
itu sendiri tidak mengetahui apa yang terdapat dalam dirinya.
Sekalipun
Allah sangat dekat dengan makhluq-Nya, namun kedekatan-Nya tidak sama dengan
kedekatan makhluq, karena Dia adalah dzat yang wajib adanya dan Maha Sempurna
serta bersifat qadim, sedangkan makhluq adalah mungkin adanya dan tidak
sempurna serta bersifat hadits. Oleh sebab itu, mustahil Allah yang bersifat qadim
menempati makhluqnya yang bersifat hadits.
Ajaran
tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i tidak sampai kepada paham tentang
kemanunggalan antara hamba dan Allah, seperti paham al-ittihad yang
diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 874) dan paham al-Hulul yang
diajarkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj (w. 922 M), bahkan terlihat bahwa ajaran tashawwufnya
menolak kedua paham tersebut
3)
Ma’rifat
Ma’rifat,
bagi K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah
sedekat-dekatnya, sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan keindahan-Nya,
yang disertai rasa takut dan cinta di dalam hati. Kemudian ia melihat segala
sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan perbuatan-Nya. Seorang hamba yang
telah mencapai tingkat ma’rifat maka mata hatinya melihat semua perbuatan dan
kejadian di alam ini adalah baik, sekalipun secara lahiriah perbuatan itu
dianggap haram namun mata hatinya memandangnya baik, karena semua itu merupakan
perbuatan Allah.
Jalan
menuju ma’rifat Allah ada lima macam, yaitu merenung atau tafakkur tentang:
a)
Tanda-tanda kekuasaan-Nya
akan mewujudkan tauhid dan iman kepada-Nya.
b)
Nikmat-nikmat-Nya
akan mewujudkan rasa cinta kepada-Nya.
c)
Janji-Nya akan
mewujudkan ketaatan kepada-Nya.
d)
Kekurangtaatan
dirinya kepada-Nya yang disertai dengan merenungi berbagai kebaikan-Nya yang telah
diberikan kepada dirinya akan mewujudkan rasa malu untuk berbuat maksiat
kepada-Nya.
e)
Ancaman-Nya
akan mewujudkan rasa takut terhadap siksaan-Nya.
Puncak
ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i adalah ma’rifat, yakni sebatas melihat atau
mengetahui rahasia-rahasia Allah seperti keindahan, keagungan, perbuatan dan
sifat-sifat-Nya. Penglihatan itu diperoleh melalui cahaya-Nya yang
dianugerahkan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang diletakkan di dalam lubuk
hati yang paling dalam.
HAKEKAT
PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
1.
Hakikat
Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan
akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus
menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri
sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakekatnya pembinaan akhlak
tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya
sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol. Dalam dunia
tasawuf istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat
al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
a.
Tazkiyah Nafs
1)
Hakekat
Tazkiyah al-Nafs
Pembersihan
jiwa dari kotoran-kotoran penyakit hati seperti sifat basud, kibir, ujub,
riya’, sum’ ah, thama, rakus, serakah, bohong, tidak amanah, nifaq,
syirik dan lain sebagainya merupakan salah satu misi utama para Rasul Allah.
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan atas misi tersebut.
Perhatikan
do’a Nabi Ibrahim AS untuk anak cucunya, yang terdapat
dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
Artinya: Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab
(al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129)
Kemudian
Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas umat ini sebagaimana
firman-Nya: كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً
مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
Ayat
lain menguatkan seperti ucapan nabi Musa kepada Fir’aun:
فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَن تَزَكَّى وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya: Adakah
keinginan bagimu untuk membersihkan diri. Dan kamu akan kupimpin ke jalan
Tuhanmu agar kamu takut kepadaNya. (An-Naazi’at:18-19). Juga Allah berfirman: الَّذِي
يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya: ...yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya. (Al-Lail:18)
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ
خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa
itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syam: 9-10).
Jelas
bahwa tazkiyat al-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang
yang bertaqwa, dan menentukan keselamatan atau kecelakaan disisi Allah.
Tazkiyah secara etimologis punya dua makna: penyucian dan pertumbuhan. Demikian
pula maknanya secara istilah. Zakatun nafsi artinya penyucian (tathabur)
jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisikan (tahaquq) berbagai maqam
padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat Allah sebagai akhlaknya (takbaluq).
Dengan demikian tazkiyah adalah tathahur, tahaquq dan takhaluq.
Kesemuanya ini memiliki berbagai sarana yang sesuai dengan syari’at. Dampak dan
pengaruhnya akan tampak pada perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan Allah
dan makhluk lainnya sesuai dengan perintah Allah.
Tazkijah hati dan jiwa
hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu, apabila
dilaksanakan secara sempurna dan memadai, seperti shalat, infaq, puasa, haji,
dzikir, fikir, tilawah al-Qur’an, renungan, muhasabah dan dzikrul-maut.
Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna dan dampak bagi seluruh
anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan Iainnya. Hasil yang paling nyata
ialah adab dan mu’amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah
berupa pelaksanaan hak-haknya termasuk di dalamnya adalah jihad di jalan-Nya.
Sedangkan kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan
taklif Ilahi.
Dampak
lain yang dapat dirasakan adalah terealisirnya tauhid ikhlas, shabar, syukur,
harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan
terhindarkannya dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut
seperti riya’, ‘ujub, ghurur marah karena nafsu atau
karena syetan. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya
nampak pada terkendalikannya anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam
berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia.
2)
Sarana Tazkiyyah
Yang
dimaksud dengan sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang
mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit,
membebaskannya dari “tawanan”, atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal
ini bisa terhimpun dalam suatu amal perbuatan.
Dalam
sarana tazkiyah, ada berbagai amal perbuatan yang memberikan dampak pada
jiwa ini sehingga dengan perbuatan tersebut jiwa terbebas dari penyakit atau
mencapai maqam keimanan atau akhlak Islami.
Ada
beberapa sarana dalam tazkiyah yaitu:
a)
Shalat
Shalat
adalah satu sarana tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ‘ubudiyah
dan rasa syukur. Dengan demikian, ia adalah sarana itu sendiri. Jadi, ia adalah
cara sekaligus sarana. Shalat yang dilakukan secara sempurna merupakan manusia
bahwa jiwa dan hati tersucikan. Jadi, penuaiannya secara sempurna dan baik merupakan
sarana, tujuan dan dampak. Demikian pula masalah-masalah lainnya yang berkenaan dengan pembahasan ini.
Penuaian
shalat, misalnya, dapat membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah
Tuhan alam semesta, dan pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul pada
jiwa dengan memberikan dorongan untuk meninggalkan pebuatan keji dan mungkar.
Sebelum
kita memasuki bab ini perlu kami berikan beberapa penjelasan berikut ini:
Fitrah
manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma’nawi yaitu suatu kotoran yang
diartikan dari hakekatnya seperti kemusyrikan, seperti dalam al-Qur’an
menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis”, terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, seperti dalam
al-Qur’an yang artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek)
yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak
akan menemui kesesatan”, atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang
yang tidak cocok untuk manusia, “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak
itu)”. Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah,
seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai
kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakekat sebagaimana mestinya.
Karena itu, jika dikatakan tazkiyat al-nafs maka yang dimaksud adalah
pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang
keliru, berbagai perangai kebinatangan yang nista, penentangan terhadap
rubbubiyah dan berbagai
kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan misi seperti
ini.
Antara manusia dan binatang ada unsur-unsur kesamaan yang
diperlukan kehidupan manusia, namun hal seperti ini tidak menjadi pembahasan
kami. Berbagai macam syahwat yang dibenarkan terkait dengan berbagai
kemaslahatan yang dibenarkan pula, hal ini juga tidak menjadi pembahasan kajian
kami. Allah telah menjadikan pada manusia kesiapan untuk berakhlak dengan
berbagai kesempurnaan, seperti santun dan kasih sayang, dan menjadikan untuknya
beberapa sifat seperti mendengar dan melihat. Berbagai kesempurnaan yang bisa
menjadi sifat manusia ini, yang merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, tidak
termasuk didalamnya apa yang kami maksud.
Berbagai
taklif Ilahi tercurahkan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat,
sementara itu tidak ada kemaslahatan bagi individu dan masyarakat kecuali
dengan menyucikan jiwa individu. Oleh karena itu diantara taklif Ilahi yang
terpenting adalah apa yang bisa membersihkan jiwa.
Titik
awal dan akhir dalam taklif Ilahi adalah tauhid yang membersihkan dari berbagai
karat kemusyrikan dan berbagai akibatnya seperti ‘ujub, ghurur,
dengki dan lain sebagainya. Sesuai dengan sejauh mana tauhid itu tertanam dalam
jiwa sejauh itu pula jiwa akan tersucikan dan memetik berbagai buah tauhid
seperti sabar, syukur, ‘ubudiyah, tawakal, ridha, takut, harap, ikhlas,
jujur, dan lain sebagainya.
Oleh
sebab itu, kami menjadikan sarana pertama dalan tazkiyah adalah shalat. Shalat
berikut sujud, ruku’ dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada
Allah dan mengingatkan jiwa agar istiqamah diatas perintahNya:
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar”, Jadi shalat merupakan salah satu sarana tazkiyah.
b)
Zakat dan
Infaq
Zakat
dan infaq bisa membersihkan jiwa dari bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia
bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah. Oleh sebab itu, kedua ibadah
ini termasuk dalam bagian dari tazkiyah, “Yang menafkahkan hartanya (di
jalan Allah) untuk membersihkannya”.
c)
Puasa
Puasa
merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat dan kemaluan, sehingga
dengan demikian ia termasuk sarana tazkiyah, “Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tujuan
dari puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar dari mulai terbit fajar
hingga matahari tenggelam, namun lebih dari itu, yaitu melatih kesabaran dan
mengekang hawa nafsu dari keinginan-keinginan nafsu duniawi. Sehingga dengan
bepuasa setiap hamba dapat mendekatkan diri pada Allah SWT dengan khusyu’ tanpa
terbebani keinginan-keinginan duniawi.
d)
Dzikir dan
Pikir
Membaca
Al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa kepada berbagai kesempurnaan, karenanya ia
merupakan salah satu jenis dzikir dan merupakan sarana tazkiyah, “Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya).
Berbagai
dzikir yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, “Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Dengan demikian jiwa bisa
mencapai derajat tazkiyah yang tertinggi, “Hai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Dzikir
dan pikir adalah dua sejoli yang dapat membukakan hati manusia untuk menerima
ayat-ayat Allah, oleh karena itu tafakkur termasuk sarana tazkiyah,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat manusia-manusia bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami,
sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh
telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang
penolong pun, Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru
kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman.
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti. Munculnya nilai-nilai dalam hati tidak lain adalah melalui
perpaduan antara dzikir dan pikir.
e)
Mengingat
Kematian
Kadang
jiwa manusia ingin menjauh dari pintu Allah, bersikap sombong, sewenang-wenang
atau lalai, maka mengingat kematian akan dapat mengendalikannya lagi kepada ‘ubudiyah-Nya
dan menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya
sama sekali, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua
hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila
datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan
kewajibannya”. Oleh karena itu, mengingat kematian merupakan salah satu sarana tazkiyah,
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan
mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran
itu?”
Muhasabah harian
terhadap jiwa dan muraqabullah juga dapat mempercepat taubat dan memperkuat
laju peningkatan (taraqqi), karenanya muhasabah merupakan salah
satu sarana tazkiyah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat)”.
Jiwa terkadang
tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian, maksiat atau syahwat
sehingga harus dilakukan mujahaddah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah
berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.
f)
Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
Tidak
ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa
sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak ada hal yang
sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari keburukan sebagaimana larangan
darinya. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan salah satu sarana tazkiyah, bahkan orang-orang yang tidak
memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran berhak mendapat laknat
Kotoran jiwa apakah yang lebih besar dari laknat? “Telah dila’nati orang-orang
kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama
lain selalu tidak melarang tindakan yang mereka perbuat, sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka selalu perbuat itu”.
Kaitkanlah
antara firmanNya, “Sesungguhnya telah berbahagia orang yang mensucikannya”, dan
firmanNya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”. Perhatikanlah kalimat
“orang-orang yang beruntung” niscaya manusia mengetahui bahwa amar ma’ruf, nahi
munkar dan ajakan kepada kebaikan merupakan salah satu sarana tazkiyah.
Jika
amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, maka
demikian pula jihad karena ia merupakan bentuk pengukuhan kebaikan dan
pengikisan kemungkaran. Oleh karena itu, mati syahid di jalan Allah adalah
penghapus dosa. Orang yang berjihad di jalan Allah terbebas secara langsung
dari rasa takut dan kikir karena ia menerjang kematian dengan niat menjual
dirinya kepada Allah, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh”. Tidak dapat melakukan
hal tersebut secara sempurna dan baik kecuali
orang-orang yang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dengan firmanNya,
"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang
memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. Jadi jihad adalah salah satu sarana tazkiyah,
bahkan merupakan sarana paling tinggi dan tidak dapat melakukannya pada
ghalibnya kecuali orang yang tersucikan jiwanya.
Itulah
berbagai induk sarana tazkiyah secara umum, disamping ada beberapa macam
tazkiyah khusus bagi beberapa penyakit khusus. Semakin sempurna sarana
ini direalisasikan semakin sempurna pula hasil-hasilnya, dan sebaliknya.
Nilai-nilai
bathiniyah dalam hal shalat, zakat, puasa dan tilawah Al-Qur’an telah dilupakan
oleh banyak orang, padahal berbagai ibadah utama dalam islam akan dapat
menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai
bathiniahnya tersebut diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang
sempurna apabila ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai
dengan amal-amal bathiniah, seperti shalat disertai khusu’, zakat disertai
dengan niat yang baik, tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabur yang baik dan
dzikir yang menghadirkan hati (hudhur). Bentuk penunaian ini merupakan
penerang dan pensuci bagi kesempurnaan. Karena aspek spiritual dari hal-hal ini
telah terjangkiti oleh penyakit wahan dan kekurangan di kalangan para penempuh
jalan menuju Allah, maka hal tersebut menjadi fokus pilihan kami karena hal-hal
yang bersifat lahiriyah biasanya tidak terlupakan di kalangan orang-orang yang
hidup di lingkungan islam.
3)
Tujuan
Tazkiyat Al-Nafs
Ada
perselisihan filosofis seputar: apakah tidak ada kaitan antara sarana, tujuan
dan dampak, ataukah ada mata rantai saja? Masalahnya relatif. Setiap sarana
adalah tujuan bagi yang lainnya, dan setiap tujuan merupakan sarana bagi yang
lainnya. Jadi hasil-hasil itu sendiri tidak keluar dari keberadaannya sebagai
tujuan dan sarana bagi sesuatu yang lain. Apapun kesimpulan perdebatan ini,
proses pengajaran, penyederhanaan dan pemaparan ini menuntut penjelasan rinci
yang membahas masalah sarana, tujuan dan hasil atau dampak tersebut
masing-masing secara terpisah. Memang pada akhirnya ada saling keterkaitan,
tetapi saling keterkaitan ini tidak muncul sebagaimana munculnya pada
pembicaran tentang tazkiyah yang tengah dibahas ini.
Tujuan
dari upaya pembersihan diri ini akan terlaksana apabila telah melampai beberapa
tahap. Tahapan ini merupakan sarana yang tepat sebagai upaya pelaksanaan tazkiyah
al-nafs. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
a)
Tathahhur (Upaya
mensucikan diri)
Usaha
seseorang untuk dapat memulai tazkiyat al-nafs adalah melalui tathahur.
Upaya ini diawali dengan taubat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi segala
perbuatan yang bisa mengotori jiwa atau hati, seperti nifaq, berdusta, khianat,
mengingkari janji, hasud, riya’, kibir, sum’ah, ujub,
su’udhan dan lain-lain. Ia harus mengikis habis segala yang bisa
menggoda hatinya untuk kembali melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Dengan cara
ini, jiwanya akan terasa kosong dari penyakit-penyakit tadi, sehingga dapat
dikatakan jiwanya bersih.
b)
Takhallaq (upaya
menghiasi diri dengan akhlak al-karimah)
Setelah
seseorang berusaha mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor pada jiwanya,
maka ia harus berupaya mengisinya dengan perbuatan-perbuatan mulia (akhlak
mulia). Sifat-sifat seperti nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji,
iri dengki, riya’, kibir, sum’ah, ujub, su’udhan
dan lain-lain haruslah diganti dengan sifat-sifat akhlak mulia seperti jujur,
amanah, tawakkal, sabar, tawadhu’, tadharru’, qana’ah, iffah,
dan lain-lain. Dengan cara ini jiwa atau seseorang akan terhiasi
perilaku-perilaku baik yang pada akhirnya perlu perwujudan dalam perilaku.
c)
Tahaqquq
(Upaya merealisasikan kedudukan-kedudukan mulia atau biasa disebut Maqamatul
Qulub)
Upaya ini
merupakan puncak dari proses tazkiyatal-nafs, karena takhalluq
merupakan cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin
dengan Allah Swt sehingga ia akan memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya.
Untuk dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus
menempuh perjalanan panjang yang dalam istilah Arab dikenal dengan maqamat,
sebagai bentuk jamak dari kata maqam. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt dalam surat al-Shaffat ayat 164 yang berbunyi: وَمَا مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ
مَّعْلُومٌ
Artinya: Tiada seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan
mempunyai kedudukan yang tertentu.
Kedudukan
tersebut merupakan tempat yang mulia di sisi Allah Swt Sebagaimana yang
dijanjikan Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 14: وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ الأَرْضَ مِن بَعْدِهِمْ
ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
Artinya: Dan kami pasti akan
menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah
untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut
kepada ancaman-Ku.
4)
Buah
Tazkiyyatun Nafs
Aktifitas-Aktifitas
tazkiyah yang dapat mencontoh Rasulullah saw ini dapat menghasilkan
buah-buah ‘amaliyah, buah-buah ini disebut Tsamaratut-Tazkiyyah,
yaitu:
a.
Dhabtul-Lisan (Lisan yang
terkontrol)
Rasulullah
menjadikan lurusnya lisan sebagai syarat bagi lurusnya hari, dan menjadikan
lurusnya hari sebagai syarat lurusnya iman. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas
bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: لا يستقيم ايمانا عبد حتى يستقيم قلبه و لا
يستقيم حتى يستقيم لسانه
Artinya: Keimanan seorang hamba tidak akan lurus sebelum lurus
hatinya, dan harinya tidak akan lurus sebelum lurus lisannya.
Diriwayatkan
pula dari Abdullah bin Umar r.a. secara marfu’, berkata:
لا تكثروا الكلام بغير ذكر
الله فإنّ كثرة الكلام بغير ذكر الله قسوة للقلب و إن أبعد الناس عن الله القلب
القاسيى
Artinya: Janganlah kalian berbanyak kata selain dzikrullah,
sesungguhnya hal itu akan menjadikan kerasnya hari. Dan manusia yang paling
jauh dari Allah adalah pemilik hati yang keras.
Selanjutnya Rasulullah
bersabda: من كان يؤمن بالله و اليوم
الاخر فليقل خيرا او ليصمت
Artinya: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
ia berkata yang baik atau diam.
Hadits
ini memuat perintah Rasulullah untuk berbicara yang baik-baik atau diam jika
pembicaraan itu tidak baik (tidak bermanfaat). Apabila perintah Rasulullah ini
dikksanakan maka akan dapat memetik buah dari tazkiyah, yaitu seorang
muslim dapat mengontrol lisannya sehingga ia akan senantiasa terjaga lisannya
dari perkatan yang tidak baik.
b.
Iltizam Bi
Adabil ‘Ilaqat (Komitmen dengan adab-adab pergaulan)
Hasil
lain dari tazkiyah yang dapat dipetik adalah berkomitmen dengan
adab-adab pergaulan. Ada 4 (empat) macam klasifikasi manusia dalam pergaulan,
yaitu:
1) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi
makanan yang bergizi. Ia dibutuhkan siang dan malam. Jika seseorang telah
menyelesaikan keperluannya ia ditinggal, dan jika diperlukan lagi ia didatangi,
demikian seterusnya. Mereka adalah para ularna, ahli ma’rifatullah, memahami
perintah-perintahNya, mengerti tipu daya musuh-musuhNya, dan memiliki ilmu
tentang penyakit-penyakit hati serta obatnya. Mereka adalah orang-orang yang
setia kepada Allah, KitabNya, rasulNya, dan seluruh makhluk. Bergaul dengan
mereka adalah keberuntungan yang nyata.
2) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat
mengkonsumsi obat. Ia dibutuhkan dikala sakit, selama sehat tidak diperlukan
pergaulan dengan mereka. Mereka adalah para profesional dalam urusan muamalat,
bisnis dan yang semisalnya. Bergaul dengan orang-orang seperti ini dapat
membawa urusan ma’siyah menjadi lancar.
3) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat
mengkonsumsi penyakit. Ada penyakit ganas yang memakan waktu lama untuk
disembuhkan. Orang yang semacam ini tidak membawa keuntungan dunia ataupun
akhirat.
4) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka adalah
kebinasaan total. Mereka ibarat racun. Jika seseorang tidak sengaja memakannya
itupun sudah suatu kerugian. Golongan ini banyak sekali, mereka adalah ahli
bid’ah dan kesesatan, penghalang sunnah Rasulullah penyeru kepada perselisihan.
Bergaul dengan mereka juga membawa kerugian dunia dan akhirat.
Dengan
tazkiyah ini seorang muslim dapat menentukan batasan-batasan dalam
pergaulan, dimana ia bisa menempatkan diri dalam golongan pergaulan yang membawa
keselamatan dunia dan akhirat.
b.
Tarbiyah
Dzatiyah
1)
Hakekat Tarbiyah
Dzatiyah
Istilah
tarbiyah dzatiyah merupakan sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan
orang Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami
yang sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain
sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan kesempurnaan manusia. Tarbiyah
dzatiyah ini juga bisa dikatakan pembinaan (tarbiyah) seseorang
terhadap dirinya sendiri. Tarbiyah dzatiyah sudah pernah dilakukan oleh
sahabat-sahabat Rasulullah. Bisa dilihat dari sejarah keberhasilan
sahabat-sahabat Rasulullah, dimana mereka mampu tampil menjadi figur-figur
hebat, dengan ciri khas dan kelebihannya masing-masing. Salah satu kuncinya
adalah masing-masing dari mereka mampu mentarbiyah (membina) diri
sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri menuju tingkatan seideal
mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten dan kontinyu, serta
meningkatkan semua potensi diri mereka sehingga tidak ada satu pun potensi mereka
yang terabaikan.
2)
Sarana-sarana Tarbiyah
Dzatiyah
Banyak sekali sarana-sarana dalam tzabiyah seorang muslim terhadap
dirinya sendiri. Sarana-sarana tersebut adalah :
a)
Muhasabah
Muhasabah merupakan penyucian atau
pembersihan diri sebagai alat untuk mengintrospeksi dirinya sendiri. Seorang
muslim mulai mentarbiyah dirinya sendiri dengan cara pertama-tama
melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya sendiri atas kebaikan
dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia
miliki, agar ia dapat segera menyadari dan melakukan perbaikan terhadap dirinya
sendiri.
Hal yang pertama kali perlu di muhasabahi seseorang pada dirinya ialah
kesehatan akidahnya, kebersihan tauhidnya dan kebersihannya dari syirik kecil
dan tersembunyi, yang keduanya sering kali disepelekan serta
keyakinan-keyakinan dan perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan atau
melemahkan tauhid. Lalu ia memuhasabahi dirinya atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban,
shalat lima waktu berjamaah, bakti kepada kedua orang tua (birrul walidain),
menyambung hubungan kekerabatan, amar ma’ruf nahi munkar dan juga memuhasabahi
dirinya tentang sejauh mana pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah dan
ketentuan-ketentuan lainnya oleh dirinya.
b)
Taubat dari
Segala Dosa
Diantara
sarana tazkiyah adalah taubat karena ia dapat meluruskan perjalanan jiwa
setiap kali melakukan penyimpangan, dan mengembalikannya kepada titik tolak
yang benar. Taubat juga bisa menghentikan laju kesalahan jiwa, sehingga Allah
melimpahkan karuniaNya kepada orang-orang yang bertaubat dengan mengubah
kesalahan-kesalahan mereka menjadi kebaikan, “kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka
diganti Allah dengan kebajikan”.
Hal
yang terpenting yang harus dilakukan ketika sesorang muslim beribadah kepada
Allah Swt adalah bertaubat dari segala dosa. Caranya dengan bertaubat dari
segala maksiat, aib, dan ketidaksempurnaan di aspek pemikiran, amal, akhlak,
dan lain sebagainya. Juga dengan cara merasa butuh kepada Allah Swt, dekat
kepada-Nya, dan keridhaan-Nya. Ini semua bisa diwujudkan dengan cara
membersihkan diri dari semua dosa dan kekurangan pada dirinya. Mengenai anjuran
bertaubat Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى
اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.
Dalam
ayat tersebut dinyatakan bahwa Allah menganjurkan setiap orang mukmin untuk bertaubat
nashuhah (hakiki). Taubat nashuhah adalah taubat yang jujur dan
serius, yang menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya
dari dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Dilakukan dengan cara berhenti dari
dosa pada masa mendatang, menyesali dosa-dosa silamnya, dan bertekad tidak akan
mengerjakannya lagi pada masa mendatang. Dengan taubat kepada Allah Swt maka
seorang muslim telah memulai pelaksanaan tarbiyah terhadap dirinya sendiri.
c)
Mencari Ilmu
dan Memperluas Wawasan
Sarana selanjutnya dalam tarbiyah dzatiyah adalah mencari ilmu dan
memperluas cakrawala pengetahuan, dimana ini merupakan aspek dan sarana penting
dalam tarbiyah dzatiyah yang ideal dan mengarahkannya dengan pengarahan
yang benar. Sebab bagaimana mungkin seseorang dapat mentarbiyah dirinya dengan
tarbiyah yang benar, jika tidak tahu hal halal, haram, kebenaran, kebathilan,
manhaj, dan sarana yang benar atau salah. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab
berkata, Ketahuilah, mencari ilmu itu wajib dan menyembuhkan hati yang sakit.
Yang paling penting bagi seorang hamba ialah ia tahu agamanya, dimana
mengetahui dan mengamalkannya adalah jalan masuk ke sorga.
d)
Mengerjakan
Amalan-amalan Iman
Mengerjakan
amalan-amalan iman termasuk sarana yang bervariatif, sangat besar pengaruhnya
pada jiwa, karena cara ini merupakan realisasi dari perintah-perintah Allah dan
rasul-Nya. Cara ini merupakan ujian untuk mengetahui sejauh mana kejujuran
orang-orang yang mengerjakannya dalam mencari petunjuk serta beristiqamah, dan
dengan mengerjakan amalan-amalan iman ini merupakan bukti kuat keinginan ikhlas
orang yang bersangkutan dalam mentarbiyah dirinya dan memperbaikinya.
Amalan-amalan iman ini sangat bervariatif diantaranya, mengerjakan
ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin seperti mengerjakan shalat lima waktu,
berpuasa dan mengeluarkan zakat, meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah,
peduli dengan ibadah dzikir termasuk membaca al-Qur’an.
e)
Memperhatikan
Aspek Akhlak (Moral)
Pembinaan
akhlak merupakan aspek penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat
peduli dengan aspek akhlak (moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan,
ibadah dan ketaatan Islam membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan
manusia. Diantara hasil terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah
takut kepada-Nya. Hasil positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak
baik ketika bergaul dengan mereka dan berbuat baik kepada mereka, karena agama
adalah muamalah
Allah
Swt berfirman: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Selanjutnya
Allah juga berfirman: وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan.
Dalam hadits Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Sesungguhnya orang mukmin pasti mendapatkan derajat orang
yang puasa dan qiyamul tail dengan akhlaknya yang baik. (Diriwayatkan Abu
Dawud)
Akhlak
menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada
saat yang sama. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya
dengan akhlak yang dianjurkan agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan
jujur dan masih banyak alagi akhlak-akhlak mulia yang harus
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3)
Buah Tarbiyah
Dzatiyah
Jika
seorang muslim benar-benar melaksanakan pembinaan akhlak terhadap dirinya
sendiri maka ia akan memperoleh hasil atau buah dari Tarbiyah Dzatiyah.
Buah dari tarbiyah dzatiyah diantaranya:
a)
Keridhaan
Allah Swt dan Surga-Nya
Jika seorang muslim melakukan tarbiyab dzatiyah secara sempurna,
dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari segala
maksiat, maka ia akan mendapat keridhaan Allah SWT, lalu memperoleh surga-Nya
yang merupakan dambaan seluruh orang Muslim di akhirat kelak.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَى إِلَّا
مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, dia tidak akan
dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu dan barang siapa mengerjakan
amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan
beriman maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizki didalamnya tanpa
hisab.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
Artinya: Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi
tempat tinggal.
Tingkatan orang di surga sangat ditentukan oleh sejauh mana tarbiyah
dan tazkiyah (penyucian dirinya). Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ
الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
Artinya: Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman,
lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang
memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).
b)
Kebahagiaan
dan Ketentraman
Semua
orang mencari kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa. Namun, banyak dari
mereka salah jalan dalam upaya mendapatkannya dan tidak tahu jalan-jalannya.
Sebab mereka mencari kebahagiaan dan ketentraman di makanan, minuman, syahwat,
maksiat dan sebagainya. Mereka hanya mendapatkan kebahagiaan sesaat dan semu.
Allah Swt membimbing manusia untuk selalu mentarbiyah diri manusia sendiri,
sehingga buah tarbiyah yang diperoleh adalah kebahagiaan dan ketentraman
batinnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
َمَنْ عمل صلحا
من ذكر او انثى و هو مؤمن فلنحيينه حيوة طيبة
Artinya: Barang siapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya pasti Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik.
c)
Dicintai dan
Diterima Allah
Allah
Swt menjanjikan barangsiapa memperbaiki dan mentarbiyah dirinya untuk beriman,
bertakwa dan beramal shalih, ia mendapatkan cinta Allah Swt. Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits qudsi:
و ما يزال عبدى يتقرب الي بالنوافل حتى احبه
Artinya : Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan (melakukan)
ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintainya.
Lalu,
tanpa keinginan dan pilihan orang itu mendapatkan cinta manusia, penghormatan
mereka dan Allah Swt membuat mereka menerima dirinya.
Allah
berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ
لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah
Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.
d)
Terjaga dari
Keburukan
Allah
Swt menjaga orang Muslim dari keseluruhan musibah dunia, hal-hal yang tidak
mengenakan di kehidupan, pihak-pihak yang menginginkan keburukan baginya, yaitu
setan-setan dari kalangan manusia dan jin, bahkan menjaga dari hewan-hewan
buas, singa dan lain sebagainya.
Allah
Swt berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
Artinya: Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.
Allah
Swt juga menjaga telinga, mata, potensi akal, dan potensi fisik orang yang
bertakwa dan senantiasa melakukan tarbiyah terhadap dirinya. Ibnu Rajab
barkata: “Barang siapa menjaga Allah pada masa muda dan masa kuatnya, maka
Allah menjaganya pada masa tuanya dan ketika kekuatannya melemah, serta
memberinya kenikmatan pada telinga, mata, kekuatan, dan akalnya. Sebagai contoh
dalam hal ini ialah salah seorang ulama telah berusia lebih dari seratus tahun,
tetapi ia tetap hidup dengan kekuatan dan akal yang utuh seperti semula. Pada
suatu hari, ia melakukan loncatan keras dan ia pun dikecam karenanya. Ia
berkata, “Aku menjaga organ tubuh ini dari maksiat ketika aku masih kecil, lalu
Allah menjaganya ketika aku telah tua.” Hal ini sebagai penegasan sebagaimana
yang disebut di dalam hadits Rasulullah.
Artinya: Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatkan-Nya
di depanmu (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
e)
Jiwa Merasa
Aman
Ketentraman
adalah kehidupan bagi hati, cahaya di mana ia bersinar dengannya, kebangkitan
baginya, dan kekuatan yang menguatkan tekadnya, membuatnya tegar terhadap
seluruh penderitaannya, dan mengontrol jiwa ketika tidak bersabar. Karena itu
orang mukmin semakin kuat imannya dengan ketentraman yang ada padanya.
Semua
orang di kehidupan ini pasti diliputi ketakutan-ketakutan dan duka dari semua
arah. Karena mereka tidak tahu apa yang akan diputuskan Allah Swt terhadap
dirinya dan juga tidak tahu masa depan apa yang akan ditetapkan Allah Swt.
Seorang Muslim yang telah mentarbiyah dirinya tidak akan merasa takut
dan sedih terhadap apa yang terjadi pada masa silamnya, masa kininya, dan masa
depannya. Mereka yakin bahwa Allah Swt akan memberikan rahmat pada umat-Nya dan
mengampuni dosa-dosanya. Mereka merasa aman atas rizki dan mata pencahariannya,
serta merasa aman dan ridha dengan takdir Allah karena di dalamnya terdapat
kebaikan.
Firman
Allah Swt:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah,
kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tidak (pula) berduka cita.
Selanjutnya
firman Allah yang lain:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ
الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَاناً مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya: Dia yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
c.
Halaqah
Tarbawiyah
Betapapun
tarbiyah dzatiyah merupakan faktor terpenting dalam pembinaan akhlak,
akan tetapi dalam realitas kehidupan seseorang akan menghadapi kendala yang
sangat besar untuk bisa merealisasikan tarbiyah dzatiyah.
Uniknya
hambatan yang paling besar muncul dalam diri seseorang, seperti kurangnya
disiplin, tidak konsisten, tidak jujur pada diri sendiri, lemah semangat dan
lain-lain. Maka dalam rangka merealisasikan tarbiyah dzatiyah perlu
ditopang dengan perilaku lain baik langsung maupun tidak langsung. Rasulullah
Saw memberikan isyarat tentang hal tersebut dengan sabdanya: المؤمَنْ مرأة أخيه
Artinya: Orang mukmin merupakan
cerminan saudaranya
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
Artinya: Bahkan para sahabat sebagai generasi terbaik setelah Rasulullah Saw
mentradisikan pembinaan diri mereka sendiri ke arah yang lebih baik dengan
melibatkan sahabat yang lain.
Hudzaifah
Ibn Yaman pernah berkata: إجلسى بنا نؤمنْ ساعة Artinya: Mari kita duduk bersama
untuk merenungkan iman kita sesaat.
Pada
umumnya setiap orang mempunyai forum dengan orang lain baik yang berkaitan
dengan bidang profesi pedagang, petani, pegawai dan lain-lain. Berbeda jika
forum yang terkait dengan kegiatan sosial, politik, keluarga dan lain-lain.
Akan tetapi sangatlah sedikit orang yang mempunyai forum internalisasi
keimanan.
Di
kalangan pengamal thariqah yang merupakan bagian dari kegiatan sebagian
kalangan tasawuf dikenal dengan adanya seorang mursyid. Seorang mursyid
biasanya menjadi rujukan para pengamal thariqah khususnya di dalam menjalankan
wirid-wirid. Bahkan idealnya seorang mursyid juga menjadi pembimbing dalam
berprilaku agar sesuai dengan akhlak al-karimah yang sering disebut dengan
suluk.
Apa yang dilakukan
para pengamal thariqah dalam menghimpun diri pada sebuah kelompok thariqah
dengan bimbingan seorang mursyid jika dikaitkan dengan beberapa hadits Nabi Saw
dan tradisi yang dilakukan para sahabat dalam membina keimanan secara jama’i
(kolektif) dapat diadopsi secara massal sebagai konsep pembinaan akhlak tasawuf
dalam bentuk halaqah. Halaqah sesuai dengan arti lughawi adalah
lingkaran dimana orang menghimpun diri di dalamnya dengan dipandu oleh seorang murabbi
(pembimbing) untuk bersama-sama membina diri mereka baik dari segi penambahan
ilmu maupun pengamalan. Inilah yang kemudian dinamakan halaqah tarbawiyah.
Kegiatan halaqah
ini berbentuk pertemuan rutin minimal sekali dalam seminggu dengan agenda
kegiatan, antara lain :
1)
Tadarus
al-Qur’an
2)
Pemberian materi
3)
Internalisasi
materi dalam pengamalan
4)
Dialog
permasalahan umat
5)
Evaluasi diri
atau muhasabah
6)
Penutup
Disamping
kegiatan rutin mingguan, halaqah juga bisa mengadakan acara-acara khusus untuk menguatkan
spiritual seperti qiyamul lail bersama, buka puasa sunnah, rihlah untuk
memperkuat ukhuwah, tadabbur dan lain-lain. Intinya forum ini tidak hanya
mengkaji Islam dalam dataran wacana, akan tetapi dilanjutkan ke arah
internalisasi atau pengamalan bahkan hingga pada tataran bagaimana dakwah pada
kaumnya.
Dalam
bentuk pembinaan akhlak tasawuf, melalui halaqah akan dihasilkan
manfaat:
1) Tertanamnya keyakinan keimanan kuat kepada aqidah dan kebenaran Islam.
2) Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata dalam wujud
perbuatan baik dalam ruang lingkup individu, keluarga dan masyarakat termasuk
di dalamnya di lingkungan kampus.
3) Terciptanya ruh ukhuwah Islamiyah di dalam kehidupan
sosial.
4) Optimalisasi amal untuk mendakwah keislaman khususnya
melalui Qadwah atau tasawuf.
5) Terpeliharanya kepribadian dan amal dari pelbagai pengaruh
yang bisa merusak dan melemahkannya.
6) Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk kesalahan dan
penyimpangan melalui tausiyah dan mau’idzah khasanah.
2.
Langkah-Langkah
Pembinaan Akhlak
Beribadah
merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam
mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari
segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah
banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya
adalah pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada
pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah
Tarbawiyah. Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah
pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah,
mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah
satu sarana tazkiyatun nafs.
Manusia
yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah
mengawasi mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan
berbagai tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah
secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar),
muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah
terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya
sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab
pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi
barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan
lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya
kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan
mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali
ketaatan kepada Allah.
Dalam
pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah).
FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiapsiagakan diri
mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat),
kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah
dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah
al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai
sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada
beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah
yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan
serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar
benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan
manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di
akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
a.
Musyarathah
(Penetapan Syarat)
Penetapan
syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh
tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan
perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan
kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan
kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan
akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun
nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal
shalih.
Dalam
perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk
hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan
pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi
musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu
dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit
(muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab).
Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa),
lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke
jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian
tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya
manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan
modal. Kemudian setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat
yang ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga
firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul munthaha bersama para nabi
dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan) terhadap jiwa
dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang memperketat perhitungan keuntungan
dunia, karena keuntungan dunia sangat hina bila dibandingkan dengan kenikmatan
syurga, disamping kenikmatan dunia pasti lenyap. Tidak ada kebaikan pada
kebaikan yang tidak langgeng.
Maka
menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat
dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba
memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya
ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana
pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya
ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa;
“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah
modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari
keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku,
dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu.
Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah
mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya
jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka
janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang
tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh
empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan
hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan
tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah
mendapatkannya.
b.
Muraqabah
(Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan
diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah
(pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada,
dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya
sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan
jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila
hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya
terdapat ‘waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni
sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif
mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di
bawah pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang
artinya berikut ini:
1)
“...Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat
kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2)
“Dan pada sisi
Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai
daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat
59).
3)
(Luqman
berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4)
Kemudian dalam
HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri,
sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang
mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau
kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah
(kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah
ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat
cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula
pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang
tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat
pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia
berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan
menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi
contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni
ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar
saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat
karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi
dingin.
Apabila
manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang
telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah)
ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang
tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut
ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang
keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang
ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya
tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini
ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah
adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang
diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat
33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala
perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan
kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33).
Sebagaimana
diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS.
Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi
orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan
membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang
hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang
tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah
ta’ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan
terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia,
dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia
merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan
yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah.
Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat
mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap
kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap
kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah.
Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi
komitmen kepada muraqabah.
Seorang
hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan
atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan
ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat.
Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan,
malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya
ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam
kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya.
Dalam
semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus
disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu
adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas
dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus
dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera
mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang
mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi
dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki
batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan
barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat
zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus
mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah
menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka
hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput
mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia
adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai
keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian
dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah
yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
c.
Muhasabah
(Intropeksi)
1)
Hakekat
Muhasabah
Muhasabah adalah
menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah
juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa
banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa
gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya
sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi
muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa
segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib
dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar
dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti
muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan
kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika
didapatinya bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya tetapi jika
didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkannya
di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai
kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan
kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
2)
Keutamaan Muhasabah
Berikut
ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah,
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah
isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh
karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan
timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang
hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana
dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat
adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW
bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada
Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”
Dalam
ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra
bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya
berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun
bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin
sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya
terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya,
ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang
telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat
bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang
firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya
sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan
ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang akan
dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.
d.
Mu’aqabah
(Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan )
Selain
sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka
perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab
(menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a
terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah
dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak
engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat
dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia
merasa ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera
mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya
tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu
Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena
melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh
isinya, subhanallah.
Betapapun
manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari
kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia
tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh
melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit
untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus
diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka
seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan
muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula
setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami
menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan
seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai
kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti
setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian
pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang
mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak
buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan
manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak
mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan
musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir
mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan
akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya.
Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia sehingga dia
lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang lainnya.
e.
Mujahadah
(Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya
keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi
segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan
saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur
kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran
selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan
pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam
ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena
terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang
lalu dan yang akan datang. Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan
syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia
berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia
menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari
kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku melihat para
shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai
mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan
malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah
dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, mereka
bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka mengucurkan air
mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila
dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan
jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka
dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
f.
Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir
dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah
mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana
proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan
baik.
Dalam
melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh
bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia
diciptakan dengan karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada
kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan,
meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah
kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari
berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar
sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu. Jika manusia
senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah
(yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan
manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah (yang tenang) yang
mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan
diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk
mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika
ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah
berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan
yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan
akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan
“petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari
menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi
berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun
yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’
ayat 1-3).
Demikian
cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu
Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud
celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang
mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap diri) dan munajat berarti
ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
HUBUNGAN
SYARI’AH & TASAWUF
1.
Aspek Tasawuf
a.
Maqamat
Tasawuf
dari satu segi merupakan suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan
jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah
sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah,
seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam
bahasa Arab disebut dengan maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian
maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang
satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam
adalah kedudukan seseorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras dalam beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat),
latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa
dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah).
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat
al-Shaffat ayat 164.
b.
Ahwal
Di
dalam beberapa literatur tasawuf, konsep maqamat sering dibandingkan
penggunaannya dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal).
At-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau
sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat
Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat,
dan al-riyadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang
termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya: merasa senantiasa diawasi
Allah (al-muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa
cinta dengan Allah (mahabbat), rasa harap-harap cemas (al-khaufwa
af-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns),
rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat),
dan rasa yakin (al-yaqin).
Senada
dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam
ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya
kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkan maqamat
merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud
kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Dengan
demikian, antara maqamat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam.
Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori
tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu sama lain yang
apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi
seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk kategori
anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun
demikian, jika diamati secara cermat kategori maqamat dan ahwal
bukanlah dua kategori yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab
tasawuf memasukan suatu konsep ke dalam kategori maqamat, sementara
penulis yang lain memasukannya ke dalam kategori ahwal. Di kalangan
ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah
dan susunan maqamat berbeda bagi shufi yang satu dengan shufi yang lain.
Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniah
yang ditempuh oleh masing-masing shufi. Sebagai contoh misalnya al-Kalabadzi
dalam kitabnya al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Thasawuf
memberikan jumlah dan susunan sebagai berikut: al-taubat, al-zuhd,
al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal,
al-ridha, al-mahabbat, dan al-ma-rifat.
Al-thusi
menyebutkan dalam kitabnya al-Luma’ sebagai berikut: al-taubat, al-wara’,
al-zuhd, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha.
Al-Ghazali
dalam kitab Ikhya ‘Ulum al-Din menyebutkan: al-taubat, al-shabr, al-faqr,
al-zuhd, al-tawakkul, al-mahabbat, dan al-ridha.
Meskipun
para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat,
namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat
ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
1)
Maqam taubat,
disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa
kecil.
2)
Maqam Zuhd,
yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
3)
Maqam wara’,
yakni meninggalkan hal-hal yang syuhbhat.
4)
Maqam faqr,
yakni hidup sebagai orang fakir.
5)
Maqam shabr,
yakni harus sabar menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
6)
Makam
tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
7)
Maqam ridha,
yakni ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga
ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang
calon shufi yang telah mampu menempuh maqamat tersebut
dengan sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Hatinya tidak lagi
tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia
hanya menuju ke hadirat Allah semata. Dengan
kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri kepada
Allah. Karena Allah Yang Maha Suci tridak dapat di dekati kecuali oleh hamba-Nya yang suci.
Setelah
hati seorang shufi menjadi suci, maka hilanglah rasa benci kepada apa dan siapa
pun, baik benci kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya. Yang tinggal di dalam
hatinya hanyalah rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Sebagaimana terlihat
dari ucapan seorang shufi yang termashur dalam mahabbat, Rabi’at
al-'’Adawiyyat: “Oh kekasih hatiku, aku tak akan memberikan cintaku kecuali
kepada-Mu, oleh karena itu kasihanilah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
hari ini. Oh harapanku, kebahagiaanku, dan kenikmatanku, hatiku tak dapat
mencintai apapun kecuali Kau Satu (Allah). Seorang shufi yang telah memiliki
cinta kasih sejati kepada Allah, maka semakin dekat denganNya. Sehingga tak
mengherankan jika ia menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikr,
tafakkur dan banyak beribadah kepadaNya, maka ia pun diberi anugerah
oleh Allah, yakni dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan
Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai di
sini berarti seorang shufi telah mencapai tingkat ma’rifat. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa ma’rifat adalah melihat
atau mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur
al-ilahiyat).
2. Hubungan Syari’ah Dan Tasawuf
Menurut
sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan
sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam.
Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah,
sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah.
Aspek lahir dan aspek batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana
dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek bathin adalah kemunafikan,
sebaliknya aspek bathin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan
di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibn
‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan:
Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak
dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf,
karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap
Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali
disertai dengan iman.
Imam
Malik menegaskan: Barangsiapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia
berlaku zindik, dan barangsiapa yanj berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi
fasiq, dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli
hakikat. Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin
menyebutkan Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci
kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapa haqiqat (
Muhammad ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, 1391 H:33).
Pendapat-pendapat
ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi
dan al-Ghazali Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak
didukung dengan pengamalan hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap
pengamalan hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat
mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali
mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan
benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya
(memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih
lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan
ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan
pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa antara syariah dan
tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak boleh dipidahkan.
Di
sini timbul pertanyaan: Mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan
tasawuf? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana
dikatakan Ahmad Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa
Fuqaha sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan
kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada
dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin, demikian
menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu
lahir dan ilmu bathin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang
mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu bathin itu mengandung
semacam spesialisasinya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir,
sedangkan ilmu bathin dikembang ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya
perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk
fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam membahas dalil al-Qur’an
dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung
menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut
keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu
kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari
adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu
kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode
sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan yang lainnya pun
menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah
tersebut ilmu Kalam (ilmu Tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah
disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu
tasawuf).
Jika
dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam
sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan
tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka
spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal
tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi
perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan)
atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikan) di kalangan umat Islam
sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir
atau amal bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau amal
bathin.
Barangkali
atas dasar inilah para ulama yang telah disebutkan di atas bermaksud untuk
memadukan kembali antara syari’ah dan tasawuf.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar