MAKALAH
SISTEMATIKA PEMBAGIAN HADITS
DILIHAT DARI BERBAGAI SEGI
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah :
ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu :
H. BIN HIMMA MUHAMMAD
BURHAN, M.Ag.

Disusun Oleh :
·
AMAD BISRI (
SEMESTER II )
·
MUSYAFA’ AHMAD ( SEMESTER II )
INSTITUT ISLAM
NAHDLATUL 'ULAMA
( INISNU) JEPARA
FAKULTAS TARBIYAH 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Secara umum, hadits
terdiri dari tiga elemen pokok yaitu matan, sanad, dan mukharrij.
Di bawah ini akan penulis sajikan masing terminologi tersebut.
1.
Matan
Secara etimologis,
kata dasar matan berasal dari bahasa Arab (متن ج مُتون ومِتان)
yang berarti sesuatu yang tampak jelas, menonjol; punggung jalan atau bagian
tanah yang keras dan menonjol ke atas; matnul-ard berarti lapisan
luar/kulit bumi; dan (مَتِيْن)
yang berarti kuat/kokoh (قويّ
/شديد). Sedangkan menurut peristilahan
Ilmu Hadits, al-Badr bin Jama’ah memberikan batasan pengertian matan yakni :
المتن ما ينتهي إليه غاية السند من الكلام
Definisi yang lain adalah:
ألفاظ الحديث التي تتقوم بها المعاني
(kata-kata/lafadh hadits yang bermakna)[2].
Matan hadits juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita yang diover
oleh sanad yang terahir. Baik pembicaraan itu sabda Rasul s.a.w., sahabat
ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi atau perbuatan
sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
2.
Sanad
Kata sanad
menurut al-Badr bin Jamaah adalah memberitahu jalur menuju hadits. Karena sanad
menurutnya diambil dari kata al-sannad yang berarti naik dari lembah
gunung. Hal ini karena al-musnid menarik dan menelusuri hadits sampai
kepada orang yang pertama kali mengucapkannya (Rasul). Atau diambil dari ucapan
fulan sanad (berpegangan) sehingga sanad mempu-nyai arti memberitahu
proses menuju matan. Hal itu dikarenakan orang yang hafal hadits menjadikan
sanad sebagai acuan dalam sahih dan dla’ifnya sebuah hadits.
Dalam ilmu hadits
terdapat beberapa kata yang merupakan derivasi dari kata sanad, di
antaranya adalah:
i.
Sanad, artinya proses
menuju matan;
ii.
Musnad, artnya hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi
Muhammad SAW. Dalam hal ini sanad mempunyai tiga arti. Yang pertama
adalah seperti yang telah tersebut. Yang kedua adalah buku-buku hadits yang
sanadnya sampai kepada Nabi. Yang ketiga adalah sama dengan kata isnad di
mana merupakan kata benda seperti Musnad al-shihab, Musnad al-Firdaus,
Musnad Ahmad bin Hanbal, dan yang lain
iii.
Sinad, artinya orang yang
mewartakan hadits dari jalurnya baik ia paham atau tidak; dan
iv.
Isnad, artinya menarik hadits sampai ke penutur aslinya.
3.
Mukharrij
Mukharrijul-hadits
adalah orang yang menyebutkan perawi hadits. Istilah ini berbeda dengan al-muhdits/al-muhaddits
yang memiliki keahlian tentang proses perjalanan hadits serta banyak mengetahui
nama-nama perawi, matan-matan dengan jalur-jalur periwayatannya, dan kelemahan
hadits. Dalam hal ini ia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan al-musnid.
Siapapun dapat
disebut sebagai mukharrij ketika ia menginformasikan sebuah hadits baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan menyertakan sanadnya secara lengkap
sebagai bukti yang dapat dipertanggung jawabkan tentang kesejarahan transmisi
hadits. Yang pasti, mukharrij merupakan perawi terakhir (orang yang terakhir
kali menginformasikan) dalam silsilah mata rantai sanad.
Setiap orang yang
bergelut dalam bidang hadits dapat digolongkan menjadi beberapa tingkatan
antara lain sebagai berikut:
i. Al-Talib;
adalah orang yang sedang belajar hadits.
ii. Al-Muhadditsun;
adalah orang yang mendalami dan menganalisis hadits dari segi riwayah dan
dirayah.
iii. Al-Hafidz; adalah
orang yang hafal minimal 100.000 hadits.
iv. Al-Hujjah;
adalah orang yang hafal minimal 300.000 hadits.
v. Al-hakim;
adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan hadits secara
keseluruhan baik limu maupun musthalahul-hadits.
vi. Amirul-Mu’minin
fi al-hadits; ini adalah tingkatan yang paling tinggi.
Menurut syeikh Fathuddin
bin Sayyid al-Naas, al-muhaddits pada zaman sekarang adalah orang yang
bergelut/sibuk mempelajari hadits baik riwayah maupun dirayah,
mengkombinasikan perawinya dengan mempelajari para perawi yang semasa dengan
perawi lain sampai mendalam. Sehingga ia mampu mengetahui guru dan gurunya guru
perawi sampai seterusnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Ditinjau dari
aspek kualitasnya, hadis dibedakan menjadi :
a. Shoheh,
b. Hasan dan
c. Dlo’if
A.
Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Sahih.
1.
Definisi
Menurut etimologi shohih
berarti sehat kebalikan dari kata saqim yang berarti sakit. Sedangkan
menurut terminologi, hadits shohih ialah:
الحديث المسند الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن
العدل الضابط حتى ينتهي الى رسول الله صلى الله عليه وسلم أو الى منتهاه من صحابي
أو من دونه ولا يكون شاذا ولا معللا
“Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang
adil lagi dlobith (cermat) dari orang yang sama, sampai berakhir kepada
Rosulullah saw. atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz
(kontroversial) dan terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam
penerimaannya).”
Keterangan definisi
Dari definisi di atas dapat ditarik simpulan bahwa untuk
memenuhi kriteria keshohihan hadits, terdapat lima poin syarat yang harus
dipenuhi.
·
اتصال السند artinya setiap perowi benar-benar meriwayatkan hadits tersebut
langsung dari orang (guru) diatasnya. Begitu seterusnya hingga akhir sanad.
·
عدالة الرواة artinya setiap perowi adalah seorang muslim yang sudah baligh
dan berakal sehat yang tidak memliki sifat fasiq serta terjaga wibawanya.
·
ضبط الرواة artinya setiap perowi adalah seorang pemelihara
hadits yang sempurna, baik menjaganya dengan hati (hafalan) maupun dengan
tulisan.
·
عدم الشذوذ
artinya hadits tersebut tidak berpredikat syadz yaitu hadits yang
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqoh (terpercaya)
·
عدم العلة
artinya hadits tersebut bukan hadits yang terkena illat. Yaitu sifat
samar yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaanya, kendati
secara lahiriyah hadits tersebut terbebas dari illat.
Contoh : hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
berikut kutipannya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ(صحيح البخاري)
2. Pembagian Hadits
Shohih
Hadits shohih
terbagi menjadi dua macam, yaitu :
·
Shohih lidzatihi yaitu hadits yang telah memenuhi syarat-syarat keshohihan seperti apa yang
telah dijelaskan di atas.
·
Shohih lighoirihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat keshohihan
hadits, namun didukung oleh riwayat lain yang sama atau lebih kuat. Oleh karena itu ia disebut shohih lighoirihi (hadits
shohih karena faktor lain).
3.
Hukum Hadits Shohih
Wajib diterima dan
diamalkan berdasarkan ijma’ ulama hadits dan ulama ushul serta para ahli fiqh.
Ia merupakan hujjah syar’iyyah yang tidak boleh ditinggalkan oleh ummat
Islam.
B.
Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Hasan.
1. Definisi
Menurut bahasa, hasan berarti bagus, indah. Menurut istilah, hadits hasan
ialah:
ما اتصل سنده بنقل عدل خفيف الضبط وسلم من الشذوذ والعلة
“Hadits yang sanadnya
bersambung , oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya, dan
terhindar dari syadz (kontroversi) serta illat.”
Yang perlu diperhatikan dari pengertian di atas adalah
perowi pada hadits hasan tidak sekuat atau tingkatannya masih di bawah perowi
pada hadits shohih.
Contoh : hadits yang diriwayatkan
oleh Imam al-Turmudzi. Berikut kutipannya :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ
بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ
يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ
الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ رَثُّ
الْهَيْئَةِ أَأَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُهُ قَالَ نَعَمْ فَرَجَعَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ
أَقْرَأُ عَلَيْكُمْ السَّلَامَ وَكَسَرَ جَفْنَ سَيْفِهِ فَضَرَبَ بِهِ حَتَّى
قُتِلَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا
مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيِّ وَأَبُو عِمْرَانَ
الْجَوْنِيُّ اسْمُهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ حَبِيبٍ وَأَبُو بَكْرِ ابْنُ أَبِي
مُوسَى قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ هُوَ اسْمُهُ (سنن الترمذي)
2.
Pembagian Hadits Hasan
Seperti halnya
hadits shohih, hadits hasan juga terbagi menjadi dua, yaitu :
¯ Hadits hasan
lidzatihi yaitu hadits yang sesuai dengan pengertian hadits hasan di atas.
Maka ketika diucapkan ”hadits hasan”, itu masudnya hasan lidzatihi, begitu
juga hadits shohih
¯ Hadits hasan
lighoirihi yaitu hadits dlo’if yang diriwayatkan dari beberapa jalan
periwayatan, dan sebab ke-dlo’if-annya bukan karena rowi yang fasiq
maupun pembohong.
3. Hukum Hadits Hasan
Di dalam
kehujjahannya ia seperti hadits shohih, meskipun kekuatannya dibawah hadits
shohih. Oleh karena itu seluruh ulama fiqh, dan sebagian besar ulama hadits dan
ulama ushul menjadikannya sebagai hujjah serta mengamalkannya.
C.
Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Dha’if.
1. Definisi
Menurut bahasa dlo’if berarti ”lemah” lawan dari kata
“kuat”. Menurut istilah, hadits dlo’if adalah hadits yang tidak sampai
memenuhi kriteria hadits shohih maupun hasan.
2. Macam-Macam Hadits
Dlo’if
Hadits dlo’if terbagi menjadi banyak sekali, yang tidak mungkin
dalam makalah kecil ini dapat diuraikan semuanya. Tapi ulama-ulama hadits telah
membagi secara global, bahwa penyebab lemahnya hadits tak akan lepas dari dua
sebab umum, yaitu dlo’if karena tidak adanya persambungan sanad, dan dlo’if
karena sebab di luar tidak adanya persanbungan sanad.
a. Hadits-Hadits
Dloi’f Karena Tidak Adanya Persambungan Sanad
Ø Hadits
mursal : hadits yang oleh tabi’in (baik kecil maupun dewasa) langsung
disandarkan kepada Rosulullah saw.
Ø Hadits munqothi’ : hadits yang sanadnya tidak
sambung, dengan digugurkannya satu rowi atau lebih. Hadits ini lebih umum,
sehingga mencakup hadits mursal, mu’dlol dan mu’allaq.
Ø Hadits mu’allaq : hadits yang digugurkan dua
rowi atau lebih dari permulaan sanadnya secara berturut-turut.
Ø Hadits mu’dlol : hadits yang digugurkan dua
rowi atau lebih secara berturut-turut ditingkat manapun.
Ø Hadits mudallas : hadits yang disamarkan
kecacatan sanadnya, sekan-akan tampak bagus. Hadits ini terbagi menjadi dua
pokok. Pertama tadlisul isnad : hadits yang disampaikan oleh seorang
perawi dengan indikator ia mendengar sendiri dari orang yang sezaman dengannya
atau pernah bertemu, namun sebenarnya ia tidak mendengarkan sendiri hadits
tersebut. Kedua, tadlis al-syuyukh: hadits yang diriwayatkan dari
seorang guru, namun perowi menyamarkannya dengan menyebut, memberi kunyah, menjuluki,
atau menyifati gurunya itu dengan sesuatu yang tidak diketahui (tidak sesuai
dengan keyataan).
Ø Hadits mu’allal : hadits yang terungkap
mengandung cacat yang menodai keshohihannya, meskipun sepintas tampak bebas
dari cacat.
b. Hadits-Hadits
Dlo’if Karena Sebab Di Luar Tidak Adanya Persambungan Sanad
¯ al-Mudlo’af :
hadits yang tidak terdapat tanda-tanda dlo’if akan tetapi sebagian ahli
hadits melemahkannya baik terhadap sanad maupun matannya dan itulah yang lebih
kuat, atau tidak dimungkinkan pentarjihan antara yang kuat dan yang lemah.
¯ Al-Mudltharrab : hadits yang diriwayatkan dari pihak-pihak yang
saling kontrofersi tanpa dimungkinkan pentarjihan salah satunya, baik rawi dari
masing-masing pihak cuma satu atau lebih.
¯ Al-Maqlub :
hadits yang terbalik lafad matannya, atau nama maupun nasab rawi pada susunan
sanadnya.
¯ As-syadz :
hadist yang diriwatkan oleh rawi yang memang terpercaya akan tetapi ia
menyalahi rawi-rawi lain yang lebih tinggi derajatnya.
¯ al-Munkar :
hadits yang diriwatkan oleh rawi yang lemah bertentangan dengan rawi-rawi
terpercaya.
¯ Al-mathruq wa Al-mathruh : hadits yang diriwatkan oleh orang yang dianggap
mendustakan hadist nabi, atau pembohong dalam ucapannya, ataupun oleh orang
yang menampakan kefasikan dengan perbuatan atau perkataan, atau banyak lupa,
atau banyak menghayal.
3. Hukum
Pengamalannya
Terdapat perbedaan ulama mengenai pengamalan hadits dlo’if.
Ulama jumhur menganjurkan mengamalkannya jika berkenaan dengan fadlilah-fadlilah
ibadah tetapi dengan beberapa syarat yang diterangkan oleh Al-Hafidz Ibn
Hajr dalam kitab Tadrib Al-Rawi.
D.
Cara Mengukur Kesahihan Hadits
Apabila kita
mendapati hadits yang kita teliti mutawatir maka, langsung dapat dihukumi
sahih. Dan tingkat kesahihannya adalah yang paling tinggi. Hal ini karena
tingkat validitas informasi yang didukung banyak saksi –meski tanpa memandang status
informan- tentu lebih tinggi daripada informasi yang hanya memiliki saksi satu
atau dua orang saja –meski integritas dan kredibilitasnya diakui.
Jika suatu hadits
tidak mutawatir, maka tata caranya sebagai berikut: untuk mengetahui suatu
hadits (selain mutawatir) apakah sahih atau tidak, kita bisa melihat dari
beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub bab yang menerangkan hadits
shahih. Ada lima syarat kesahihan hadits, yaitu: seorang perawi harus dlabith
dan ‘adil, sanad harus bersambung, dan hadits tersebut terbebas dari syudzudz
dan ‘illat. Apabila hadits telah memenuhi syarat kesahihan hadits, maka dapat
segera diputuskan bahwa hadits tersebut sahih. Namun apabila ada salah satu
syarat yang tidak terpenuhi, maka secara otomatis derajat hadits tersebut turun
dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian terbukti bahwa
salah satu perawi hadits tersebut tingkat kedlabitannya kurang sempurna, dalam
artian berada pada tingkat kedua, maka dengan sendirinya hadits tersebut masuk dalam
katagori hadits hasan/sahih li ghairihi –jika mempunyai riwayat pendukung. Dan
jika hadits yang telah diteliti tidak ditemukan suatu kelemahan pun, dan
tingkat para perawi juga menempati posisi yang pertama maka hadits tersebut
dikatakan hadits sahih li dzatihi.
Sedangkan mengenai
hadits hasan, kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
pengertian dan kriterianya. Apabila hadits tersebut mempunyai beberapa jalur
periwayatan, maka ia akan naik derajat menjadi hadits sahih li ghairihi. Dengan
kata lain, dapat disimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu
tidak gharib/diriwayatkan oleh beberapa jalur maka dapat dihukumi sebagai
hadits sahih li ghairihi.
E.
Peran al-Tabi’ / al-Muntabi’ Dalam Analisis
Kualitas Sanad
Sebelum menginjak
pada pada fungsi tabi’/mutabi’’ terhadap kualitas sebuah hadits, maka akan
sangat membantu kiranya penulis jelaskan terlebih dahulu mengenai
terminologinya.
Mutabi’’ ialah hadits
yang mengikuti periwayatan perawi lain sejak pada gurunya yang terdekat atau
guru dari guru yang terdekat itu. Orang yang mengikuti periwayatan seorang guru
atau guru dari guru perawi lain disebut mutabi’’.[8]
Perlu diketahui bahwa dalam mutaba’ah disyaratkan adanya sumber pengambilan
yang sama antara mutabi’’ dan mutaba’, yakni bersumber dari sahabat yang sama.
Apabila sumbernya berasal dari sahabat lain maka hadits itu disebut dengan
hadits syahid.
Nabi SAW
tabi’in - tabi’in
atba’tabiin – atb’tabiin
A B
C
Mutabi’’ ada dua
macam; mutabi’ tam dan mutabi’ qashir. Mutabi’’ tam adalah hadits yang
mutaba’ah (tindakan mengikuti periwayatan)nya pada perawi yang sama. Sedangkan
mutabi’ qasir adalah hadits yang mutaba’ahnya pada guru perawi atau guru dari
guru perawi tersebut. Akan lebih jelas jika kita melihat pada bagan di samping.
Dilihat dari sudut pandang A, maka B adalah mutabi’ tam terhadap A. Sedangkan C
adalah mutabi’ qashir terhadap A, begitu juga terhadap B.
Posisi mutabi’’ dalam
sebuah hadits sangat berpengaruh pada kualitas hadits itu sendiri. Karena
ketika ada sebuah hadits yang dinilai dari segi sanad memiliki kekurangan, maka
akan menyebabkan hadits tersebut tidak bisa mencapai derajat shahih atau hasan.
Akan tetapi ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, maka posisi
hadits yang pertama bisa kuat dan bisa naik menjadi hadits sahih li ghairihi
(apabila pertamanya ia hasan li dzatihi) berkat dukungan dari sanad lain
tersebut. Hal ini karena substansi matannya dijustifikasi oleh faktor
eksternal. Dan kekurangan pada salah satu perawi–yang bisa menimbulkan
kecurigaan semisal hafalannya tidak begitu kuat sehingga ditakutkan haditsnya
merupakan buatan sendiri atau tidak sesuai dengan apa yang diterima pertama
kali- dapat dihilangkan dengan adanya bukti berupa hadits yang sama dan
diriwayatkan dengan jalur yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Ditinjau dari
aspek kualitasnya, hadis dibedakan menjadi 3 yaitu : Shoheh, Hasan dan Dlo’if . Hadis Shoheh adalah “Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang
adil lagi dlobith (cermat) dari orang yang sama, sampai berakhir kepada
Rosulullah saw. atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz
(kontroversial) dan terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam
penerimaannya). Hadis hasan adalah Hadits yang sanadnya bersambung,
oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya, dan terhindar dari
syadz (kontroversi) serta illat. Sedangkan hadis dhoif adalah hadits yang tidak sampai memenuhi kriteria
hadits shohih maupun hasan.
Apabila kita
mendapati hadits yang kita teliti mutawatir maka, langsung dapat dihukumi
sahih. Dan tingkat kesahihannya adalah yang paling tinggi. Hal ini karena
tingkat validitas informasi yang didukung banyak saksi –meski tanpa memandang
status informan- tentu lebih tinggi daripada informasi yang hanya memiliki
saksi satu atau dua orang saja –meski integritas dan kredibilitasnya diakui.
2.
REFERENSI
[1] Muhammad Hasbi Ash
shiddiqi. 1998. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang. P.T.
Pustaka Rizqi Putra
[5] Subhi Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu,
(Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin)cet. XXI. Mahmud Tahhan, 1985, Taysir
Musthalah Al-Hadits, (Surabaya: al-Hidayah), cet.VIII,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar