Selasa, 29 Oktober 2013

MAKALAH Mata Kuliah : FILSAFAT ILMU TEORI KEBENARAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar dimana sesuatu yang dianggap benar bagi sesorang belum tentu dianggap benar oleh orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berpikir adalah suatu usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan masyarakat sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya, sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha berpegang pada suatu kebenaran.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai  kebenaran. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa ada tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam makalah ini penulis membatasi makna “kebenaran” pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1)        Pengertian kebenaran
2)        Bagaimana tingkatan kebenaran
3)        Teori-teori kebenaran menurut filsafat?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Ada dua pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran). Persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itu yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.[1] Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin hidup tanpa kebenaran. Berdasarkan potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1.        Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan      pertama yang dialami manusia
2.        Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio
3.        Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4.        Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indera.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, mengembangkan, menjelaskan, dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya .

B.  Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
        Kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.  Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.[2] Adapun teori-teori kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut :

1. Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dimaksud oleh pernyataan tersebut. Contoh dari teori kebenaran ini adalah nilai kebenaran dari pernyataan “Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah ”. Pernyataan ini bernilai benar karena pada kenyataannya Ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang. Dengan demikian ada lima unsur yang diperlukan, yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis yang dipelopori oleh Plato, Aristotels dan Moore kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas, serta oleh Berrand Russel.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

2. Teori Konsistensi atau Koherensi
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliabel jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori konsistensi untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesan dan comprehension-nya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin berbeda dengan apa yang di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Teori konsistensi atau koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis. Contoh dari teori ini adalah : Premis 1 : “Bilangan genap adalah bilangan yang habis dibagi 2”  dan Premis 2 : “4 habis dibagi 2” maka kesimpulannya adalah : “4 adalah bilangan genap”
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

3. Teori Pragmatisme
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka berguna dan mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.[3] Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filosuf Amerika tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam problem solving.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupakan pemahaman potensi subjek (mental, rasio, intelektual). Substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya. Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata di mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

B.      Saran
Dari makalah ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun, untuk kebaikan semuanya.

Daftar Pustaka
Mawardi, Imam.  Kebenaran dalam Perspektif Filsafat Ilmu. 2008
Musrida, Irvan Jaya. Teori-Teori Kebenaran Filsafat 2010.
Suriasumantri, J. S.. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT Gelora  Aksara Pratama. 1990


[1] Mawardi, Imam.  Kebenaran dalam Perspektif Filsafat Ilmu. 2008
[2] Suriasumantri, J. S.. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT Gelora  Aksara Pratama. 1990
[3]  Musrida, Irvan Jaya. Teori-Teori Kebenaran Filsafat 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar