BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan
pengetahuan yang benar dimana sesuatu yang dianggap benar bagi sesorang belum
tentu dianggap benar oleh orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berpikir adalah
suatu usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria
kebenaran. Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan masyarakat
sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya, sifat
manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha berpegang pada suatu kebenaran.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan
adalah untuk mencapai kebenaran. Problem
kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah
kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa ada
tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan
kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan
dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran
sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau
diadakan. Sedangkan kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang
terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam makalah ini
penulis membatasi makna
“kebenaran” pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1)
Pengertian kebenaran
2)
Bagaimana tingkatan
kebenaran
3)
Teori-teori
kebenaran menurut filsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebenaran dan Tingkatannya
Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu
sendiri. Ada
dua pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti
nyata-nyata terjadi, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
(ketidakbenaran). Persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itu yang disebut kebenaran.
Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.[1]
Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi
rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin hidup tanpa
kebenaran. Berdasarkan potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu
menjadi :
1.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia
2.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah
pula dengan rasio
3.
Tingkatan
filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
4.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud,
sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi
subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek
kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran
indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indera.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada
khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, mengembangkan, menjelaskan,
dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk
mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah suatu
nilai utama di dalam kehidupan manusia sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk”
suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir
manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah
kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran
tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut
para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan
kualitasnya .
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
Kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran
epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia.
Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada
hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta
melekat dalam tutur kata dan bahasa.[2] Adapun
teori-teori kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut :
1. Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah
perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat)
dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang
dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu
itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dimaksud oleh
pernyataan tersebut. Contoh dari teori kebenaran ini adalah nilai kebenaran
dari pernyataan “Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah ”. Pernyataan ini
bernilai benar karena pada kenyataannya Ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang. Dengan
demikian ada lima unsur yang diperlukan, yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality
(kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis yang
dipelopori oleh Plato, Aristotels dan Moore kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas, serta oleh Berrand Russel.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif
menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini
sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah
pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu.
Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar
bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus
mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu.
Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam
kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Konsistensi atau Koherensi
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test)
atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliabel jika
kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan
hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat
yang lain.
Menurut teori konsistensi untuk menetapkan suatu
kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab
apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesan dan comprehension-nya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan
mungkin berbeda dengan apa yang di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu
sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di
dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan
dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori
konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori
korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Teori konsistensi atau
koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada
pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang
telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika
pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan
lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori
kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar,
jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran
metafisikus rasional dan idealis. Contoh dari teori ini adalah : Premis 1 :
“Bilangan genap adalah bilangan yang habis dibagi 2” dan Premis 2 : “4 habis dibagi 2” maka kesimpulannya
adalah : “4 adalah bilangan genap”
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian
dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar
apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini
bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar,
maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang
dikenal para pendidik sebagai metode project
atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka
berguna dan mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia
selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan
penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth)
menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebenaran bila
memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.[3]
Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri
pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau
mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria
kebenarannya dengan kegunaan (utility),
dapat dikerjakan (workability) dan
akibat yang memuaskan (satisfactor
consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap,
kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/hasil yang memuaskan
bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk
tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada
filosuf Amerika tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh
Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu
benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey
konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam
hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah
mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung
melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti
segala sesuatu melalui praktek di dalam problem solving.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi
subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi
subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Kebenaran itu
adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension)
subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek
itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula
yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran
itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa
ide-ide yang merupakan pemahaman potensi subjek (mental, rasio, intelektual).
Substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang
menjangkaunya. Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam
kehidupan nyata di mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan
manusia.
B. Saran
Dari makalah ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan kritiknya
yang bersifat membangun, untuk kebaikan semuanya.
Daftar Pustaka
Mawardi, Imam. Kebenaran
dalam Perspektif Filsafat Ilmu. 2008
Musrida, Irvan Jaya. Teori-Teori
Kebenaran Filsafat 2010.
Suriasumantri,
J. S.. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta : PT Gelora Aksara
Pratama. 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar