Selasa, 29 Oktober 2013

MAKALAH Mata Kuliah : FILSAFAT UMUM " FILSAFAT KONTEMPORER "




MAKALAH

FILSAFAT KONTEMPORER

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : FILSAFAT UMUM
Dosen Pengampu :
Drs. H. FATHUL MUFID, MSI.

 











Disusun Oleh :

HAFIDHIN  ( SEMESTER II )
AHAMAD BISRI ( SEMESTER II )

 

INSTITUT ISLAM NAHDLATUL 'ULAMA
( INISNU)  JEPARA
FAKULTAS TARBIYAH  2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Manusia tercipta diberi kelebihan diantara makhluk-makhluk lain yang berada di dunia ini, yakni kemampuan berfikir yang luar biasa melalui akal pikiran dan budi daya. Dengan akal pikiran manusia berfikir akan kebenaran serta daya kemampuan untuk tetap surfive. Apabila akal dipergunakan secara mendalam, fundamental, hakiki dan universal akan lahir apa yang dinamakan filsafat. Zaman sejarah dimulai sejak manusia dapat mendokumentasikan hasil pemikian dan kebudayaan atau peradaban, dari sini timbul sebuah metodologi tentang hasil pemikiran yang biasa dikenal dengan filsafat.
Filsafat di mulai sejak filsafat klasik meliputi filsafat yunani dan romawi pada abad ke-6 SM yang dipelopori oleh Tahles dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Kemudian munculnya berbagai agama, seperti nasrani, islam dan agama-agama dan kepercayaan dari India,  Zaman modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance, Pada filsafat Rene Descartes(1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.[1]
Zaman Kontemporer dimulai pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat kontemporer memiliki sifat yang sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti matematika, fisika, sosiologi, dan ekonomi.
Filsafat Kontempoer Indonesia terlahir dari kritik kolonialisme, imperialisme dan liberalisasi, dan lahirnya demokratisasi dan humanisme  dalam segala aspek kehidupan, dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Filsafat Kontemporer dan Periodesasi filsafat
2.      Aliran-aliran dan Tokoh Filsafat Kontemporer
3.      Filsafat Kontemporer Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Pengertian filsafat Kontemporer
Kata filsafat dalam bahasa arab berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang secara harfiah berarti cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa arab failosuf (filsuf). Pecinta pengetahuan atau kebijakasanaan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau orang yang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan,[2]
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Orang Yunani senang akan kebijaksanaan yang selalu diarahkan kepada kepandaian secara teoretis dan praktis. Kepandaian yang bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan ide yang tentunya sejalan dengan cara pikir mereka. Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu.[3]

B.  Periodesasi Filsafat
Dalam garis besarnya Periodesasi filsafat terbagi atas 4 masa yang disusun secara ringkas sebagai berikut :
1.         Filsafat Klasik atau filsafat Yunani kuno 6 SM sampai 6 setelah masehi.
Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum untuk menjawab persoalan disekitar dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
2.         Zaman Pertengahan
Pada masa ini, para ilmuwannya hampir semua adalah teolog, sehingga aktivitas ilmiah berkaitan dengan aktivitas keagamaan..


3.         Zaman Modern
Dikenal juga sebagai masa Rasionalisme, yang tumbuh di zaman modern dengan tokoh utama, yaitu Rene Descartes (1596 – 1650) yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern, Spinoza (1633 – 1677), dan Leibniz (1646 – 1716). Descartes memperkenalkan metode berpikir deduktif logis yang umumnya diterapkan untuk ilmu alam.
4.         Kontemporer abad 20 sampai sekarang.

C.  Aliran-aliran dan Tokoh Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer sifatnya heterogen. Para pelakon yang paling depan dalam filsafat adalah Prancis, Inggris dan Jerman. Titik tekan pembahasannya terutama terletak pada aliran-aliran filsafat.
Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20 adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika.[4]

  1. Pragmatisme
Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfaat secara praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Populer di Amerika Tokoh yang terpenting dalam aliran ini adalah William James (1842-1910). Pragmatisme yang dimunculkannya terbagi menjadi enam hal : temperamen filosofis, teori kebenaran, teori makna, holistik tentang pengetahuan, pandangan metafisika, dan metode penyelesaian sengketa filosofis.

  1. Vitalisme
Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis. Tokoh terpenting dalam vitalisme adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia adalah salah satu filsuf yang paling terkenal dan berpengaruh di Perancis pada akhir abad 19 – awal abad 20.
  1. Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata phenomenon yang berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl .
Edmund Husserl (1859-1938) adalah pendiri aliran fenomenologi yang telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad 20 secara mendalam. Baginya, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, realitas sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita amati hanyalah fenomena bukan sumber dari gejala itu sendiri dan dari apa yang kita amati, terdapat beberapa hal yang membuatnya tidak murni sehingga perlu diakan reduksi. Langkah – langkah yang harus dilakukan adalah melakukan reduksi fenomenologi dan reduksi eiditis. Pandangan Husserl mengenai fenomena ini, ia telah mengadakan semacam revolusi dalam filsafat barat. Sejak masa Descrates, kesadaran selalu diartikan sebagai kesadaran yang tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri merupakan satu – satunya jalan untuk mengenal realitas. Namun, Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah kepada realitas, sama artinya dengan realitas menampakan diri sendiri. Inti dari pandangan Husserl adalah :
1.         Membebaskan diri dari unsur subjektif
2.         Membebaskan diri dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis-hipotesis
3.         Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional

  1. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Sebenarnya, istilah eksistensialisme tidak menunjukan suatu sistem filsafat secara khusus. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya di dunia ini. Akan tetapi manusia sadar hal tersebut. Itulah sebabnya, segala sesuatu mempunyai arti sejauh masih berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan arti kepada segala hal. Ada beberapa hal yang dapat mengidentifikasikan ciri dari aliran eksistensialisme ini :
1.         Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
2.         Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
3.         Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
4.         Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
5.         Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
6.         Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Filsafat ini bertitik tolak kepada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini mereka berepndapat bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi.
Tokoh yang penting dalam filsafat eksistensialisme adalah Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre.
1.    Martin Heidegger (1883-1976)
Perhatian utama dari seorang Heidegger adalah karyanya, “Being dan Time”, ia mencoba untuk mengakses being (Sein) dengan melalui analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter duniawi dan sejarah manusia. Dalam karya-karyanya berikutnya, Heidegger menekankan nihilisme masyarakat teknologi modern, dan berusaha untuk memenangkan tradisi filsafat Barat kembali ke pertanyaan yang ada. Ia meletakkan penekanan pada bahasa sebagai jalan untuk membuka pertanyaan tersebut. Tulisannya yang sangat sulit. Namun, Being and Time tetap masih yang paling berpengaruh.
2.    John-Paul Sartre (1905-1980)
John-Paul Sartre adalah seorang atheis dan satu – satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Ia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan,”Manusia bebas. Manusia adalah kebebasan.”
  1. Filsafat Analitis
Filsafat analitis atau filsafat bahasa merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme. Para penganutnya menyibukkan diri dengan menganalisa bahasa dan konsep-konsep. Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sekitar tahun 1950. Tokoh penting dalam filsafat ini adalah Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
  1. Strukturalisme
Strukturialisme muncul di Prancis pada tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme yang menekankan pada peranan individu, strukturialisme memandang manusia “terkungkung” dengan berbagai truktur di sekelilingnya. Maka kaum strukturalis menyibukkan diri dengan struktur – struktur tersebut. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
1.    Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik.
2.    Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
Tokoh–tokoh yang memiliki peranan penting dalam filsafat strukturialisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault.
1.      Claude Levi Strauss
Bagi Strauss, “struktur” itu tidak identik dengan struktur empiris suatu masyarakat tertentu, struktur itu tidak ada dalam realitas yang tampak. Dari ini, terdapat kemenduaan Strauss antara jenis strukturalisme yang melihat struktur sebagai suatu model abstrak yang dihasilkan dari analisis terhadap suatu fenomena dengan pengertian struktur sebagai yang bersifat terner, yaitu yang secara inheren mengandung sifat dinamis.
2.      Jacques Lacan
Lacan membaca ulang karya Freud untuk  meninjau ulang teori tentang subjektivitas dasn seksualitas dan menghidupkan kembali sekumpulan konsep. Kemudian Lacan mengemukakan pandangannya bahwa yang paling mneghambat pengetahuan tentang cirri revolusioner dan subversif karya – karya Freud adalah pandangan bahwa ego merupakan hal yang terpenting untuk memahami perilaku manusia.
3.      Michel Foucault (1926-1984)
ia mengarahkan bahwa kita tidak dapat mereduksi praktek – praktek deskursif menjadi disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskurtif adalah sebuah keteraturan yang muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat tidak sadar.

  1. Semiotika
Semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Seorang ahli semiotika seperti Barthes dalam awal pemikirannya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam kerangka penandaan. Melalui pendekatan semiotika yang didasarkan atas kerangka linguistik Saussurean, kehidupan sosial menjadi pertarungan demi prestige dan status; atau bisa juga ia menjadi tanda pertarungan ini. Semiotika juga mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan.
1.    Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, seorang yang melihat bahasa sebagai yang dimodelkan oleh teori Saussure tentang tanda yang melandasi pemahaman structural kehidupan sosial dan kultur. Karya – karya Barthes sangat beragam, berkisar dari teori semiotika, esai kritik sastra, telaah psikobiografis serta karya–karya yang lebih bersidat pribadi. Gaya bahasa personifikasi menjadi ciri khas dalam karyanya lebih lanjut.
2.    Ferdinand de Saussure
Saussurre adalah seorang bapak strukturalisme dan linguistik. Hal pokok pada teorinya adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian: penanda dan yang ditanda. Konsepnya mengenai tanda menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Bahkan, secara lebih mendasar Saussure mengungkapkan suatu hal yang bagi kebanyakan orang modern menjadi prinsip yang paling berpengaruh terhadap teori linguistiknya

  1. Postmodernisme
Postmodernisme, sangat popular pada penghujung abad ke-20 dan merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat dan ilmu pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya.  Modernisme dimulai oleh Rene Descrates, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabdikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme.[5]

D.  Pemikiran Islam Kontemporer
Perkembangan pemikiran Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya, dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan, yaitu :
Pertama, fundamentalis. Yaitu, model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa' al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.
Kedua, tradisionalis ( salaf ). Yaitu, model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
Ketiga, reformis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
Keempat, postradisionalis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisa Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.
Kelima, moderinis. Yaitu, model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan . Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.[6]

E.  Filsafat Kontemporer Indonesia
Berdasarkan periodesassi filsafat kontemporer yang terlahir pada abad XX terlahir adalah era gerakan anti kolonisme dan keinginan kebebasan dalam segala hal. Filsuf Indonesia yang hidup pada periode ini diantaranya adalah :

1.    Soekarno
Soekarno (1901-1970), salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pernah menjabat ketua pertama Partai Nasional Indonesia (PNI), pernah menulis satu artikel di koran harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926 dengan judul ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’. [7] Ir. Sukamo, yang di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Bung Karno, tidak hanya seorang negarawan atau politikus kaliber dunia. la juga merupakan seorang pemikir yang brilian dan berbobot. Salah satu hasil pemikirannya yang orisinal adalah Marhaenisme, suatu antitesa terhadap imperialisme. Sukarno menyusun Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia, yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.[8]
Dalam tulisan itu pula, Soekarno menyambut baik aliran-aliran Barat seperti Marxisme dan Nasionalisme sebagai aliran-aliran yang akan mengantar negara-negara Asia menuju kemerdekaannya.

2.    Sutan Syahrir
Sutan Syahrir (1909-1966), salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), pernah menulis catatan harian selama pembuangannya di Banda Neira dan Boven Digul sekitar tahun 1935 dan 1936. Dalam catatan hariannya tanggal 20 Juni 1935, Syahrir menulis : di sini sejak berabad-abad tidak ada kehidupan rohani, tidak ada kehidupan budaya, tidak ada sama sekali kemajuan. Memang ada pengungkapan seni Timur yang banyak dipuji-puji, akan tetapi apakah itu semua tiada lain dari perkembangan yang tidak sempurna dari kebudayaan feodal, yang tidak mungkin menjadi tempat berpegang bagi kita, orang-orang abad keduapuluh? Apa bisanya wayang dengan segala lambang-lambangnya yang sahaja dan mistik itu—yang sejajar dengan cerita-cerita kiasan (allegori) dan ilmu batin abad menengah di Eropa—yang menyumbangkan sesuatu yang bersifat intelektual dan kultural secara umum kepada kita? Kebutuhan rohani kita adalah kebutuhan abad keduapuluh, masalah-masalah kita, pandangan kita adalah dari abad keduapuluh. Selera kita bukan menuju kepada mistik, tetapi kepada kenyataan, kejelasan dan kelugasan (realiteit, helderheid, zekelyheid) Pada hakekatnya kita tidak pernah dapat menerima perbedaan esensial antara Timur dan Barat, tidak untuk hidup kita, sebab untuk kebutuhan rohani kita, kita tergantung dari Barat, bukan secara ilmiah saja, melainkan juga secara budaya umumnya…
Secara kultural kita lebih dekat kepada Eropa dan Amerika daripada kepada Borobudur atau Mahabharata atau kebudayaan Islam yang primitif di Jawa dan Sumatera. Apakah dasar kita, Barat atau perkembangan elementer dari kebudayaan feodal yang masih diketemukan di dalam masyarakat kita.[9]

3.    Sutan Takdir Alisjahbana
Pada tahun 1935, dalam polemiknya yang terkenal dengan sebutan ‘Polemik Kebudayaan’, Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) kembali mengritik Adat sebagai penyebab kekalahan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Kata Takdir Kalau dianalisa masyarakat kita kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena selama berabad-abad kia kurang memakai otaknya, kurang egoisme (maksudnya yang sehat), kurang materialisme. Dalam hal intellect berabad-abad bangsa kita parasiteren, hidup seperti benalu pada masa yang silam. Bangsa kita tiada mengasah otaknya, tiada berusaha mendapat pikiran sendiri, ia menjadi Sleurmens. Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat, Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya, Keinsyafan akan kepentingan diri harus disadarkan sesadar-sadarnya! Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin! ke segala jurusan bangsa Indonesia harus berkembang [10]
Dalam kacamata Takdir, Adat mengikat individu dengan banyak ikatan, sehingga kepribadian orang Indonesia mati, semati-matinya. Supaya jiwa orang Indonesia hidup kembali, Takdir menganjurkan adopsi individualisme dan materialisme Barat. Bahwa ‘Indonesia’, terlebih lagi ‘Bahasa Indonesia’, merupakan proyek filsuf modernist yang sungguh bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa otoritas Adat dalam Bahasa Daerah.

4.    Mohammad Hatta
Di masa pembuangannya, Mohammad Hatta (1902-1980) menulis buku daras filsafat mengenai Filsafat Barat Klasik berjudul Alam Pikiran Yunani (1941). Walaupun Hatta memuji Filsafat Yunani dalam karyanya itu, mudah diterka bahwa Hatta sesungguhnya menjuruskan kritiknya kepada Adat.
Dongeng dan takhyul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, Semuanya masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur.[11]

5.    Muhammad Yamin
Muhammad Yamin (1903-1962), adalah seorang konseptor Konstitusi RI, berhasil memasukkan Rasionalisme—suatu aliran dalam Filsafat Barat Modern—ke dalam filsafat negara yang kini disebut ‘Pancasila’, yakni pada ‘Sila Keempat’ yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…’ ‘Hikmat kebijaksaan’, rupanya,  adalah terjemahan Yamin dari istilah Inggris ‘Filsafat  Rasionalisme’[12].


6.    KH. Abdurrohman Wahid ( Gus Dur )
Di lingkungan umat Islam terlebih kaum Nahdhiyyin, Gus Dur berfungsi sebagai pendobrak kebekuan berfikir. Ia tak menutup pintu bagi filsafat dalam Islam. Itu sebabnya, ia mengintroduksi diskursus filsafat ke dalam publik Islam Indonesia. Ia tak hanya membaca al-Ghazali yang menampik filsafat, tapi juga melahap Ibn Rushd yang menerima filsafat. Bahkan, Gus Dur antusias untuk bertamu ke kedai orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membacai karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.
Gus Dur melakukan dinamisasi pemikiran Islam. Ia pun melakukan kritik sangat tajam terhadap kemandegan pemikiran Islam. Ushul fikih yang dalam sejarahnya merupakan proses kreatif untuk mendinamisasi fikih Islam, dalam perkembangannya, menurut Gus Dur, telah menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan memandulkan kreativitas. Akibatnya, umat Islam berwawasan sempit dan sangat ekslusif. Umat Islam menjadi beban bagi kebangunan peradaban Islam. Aktivitas istinbath tak bisa dilangsungkan, karena para ulamanya telah terperangkap dalam gubahan fikih lama. Berbagai upaya untuk mengaransemen fikih Islam selalu ditolak.
Walau tak dikenal sebagai pakar fikih, Gus Dur turun tangan membenahi fikih Islam yang “mogok” di tengah jalan itu. Ia meminta agar teks keagamaan yang diduga kuat akan membentur HAM, pluralisme dan nilai-nilai demokrasi untuk ditafsir ulang, mulai dari soal terminologi murtad hingga soal kafir. Gus Dur berdebat sengit dengan sekelompok umat Islam yang menggolongkan orang-orang non-Muslim Indonesia sebagai kafir dzimmi yang rendah bahkan harbi yang boleh diperangi. Gus Dur pun menafsir ulang pengertian al-maqashid al-syar’iyah atau al-dlaruriyat al-khms (lima prinsip dasar Islam). Di antaranya, hifdz al-din diartikan Gus Dur dengan kebebasan beragama, hifdz al-aql dengan kebebasan berfikir.[13]

Periodisasi Filsafat Indonesia juga dapat dibuat berdasarkan kejadian-kejadian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. Atau bila mengikuti periodesasi klasik, pertengahan, modern dan kontemporer yang menjadi pertanyaan kapankah periode Klasik dari Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik dari Filsafat Indonesia adalah periode yang dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M, lalu periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, dan periode Kontemporer sejak Soeharto lengser hingga detik ini. Setelah  diamati filsuf Indonesia paska kejatuhan Soeharto hanyalah KH. Abdurrohman Wahid, karena tokoh yang ada sekarang lebih banyak menjadi seorang ilmuwan/ cendikiawan, agamawan dan  politisi[14]













                                               





BAB III
PEUTUP

1.      Kesimpulan
Filsafat Kontemporer yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini. Aliran, Aliran yang Berpengaruh dalam filsafat kontemporer yaitu pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika
Pragmatisme, mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfaat secara praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Populer di Amerika. Tokohnya William James dan John Dewey.
Vitalisme, berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Tokohnya Henri Bergson.
Fenomenologi, adalah aliran yang membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Tokohnya Max Sch Edmund Husserl .
Eksistensialisme, aliran ini memandang segala gejala denga berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Eksistensi mendahului esensi. Bungkus mendahului isi. Tokohnya adala Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre.
Filsafat analitis atau disebut juga filsafat bahasa. Para penganutnya menyibukkan diri denga analisa bahasa dan konsep-konsep. Tokohnya Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin
Strukturalisme, pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Mereka menyibukkan diri dengan struktur-struktur tersebut. Tokohnya, Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault
Semiotika adalah teori tentang penandaan. awal pemikirannya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam kerangka penandaan. ahli semiotika adalah Barthes
Postmodernisme adalah reaksi dari modernisme. Postmodern mengakui relativisme, dan pluralisme. Tokohnya, Rene Descrates, Jacques Derrida.
Filsafat Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya, dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan yaitu fundamentalis, tradisionalis (salaf), reformis, postradisionalis, dan moderinis.
Filsafat kontemporer Indonesia abad XX terlahir pada waktu gerakan anti kolonisme dan keinginan kebebasan dalam segala hal. Filsuf Indonesia yang hidup pada periodesasi kontemporer diantaranya adalah : Ir. Soekarno, Sutan Sahrir, Sutan Takdir Alisyabana, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, dan KH. Abdurohman Wahid, namun dalam periodesasi filsafat kontemporer Indonesia, dimulai sejak kejatuhan Soeharto dari presiden Republik Indonesia yaitu taun 1998 berarti yang masuk filsuf kontemporer Indonesia adalah KH. Abdurroman Wahid.

2.      Kritik dan Saran
Syukur alhamdulillah, makalah filsafat kontemporer ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan di mana-mana, ole karena itu segala kritik dan saran diharapkan dari semua fihak, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan pembaca.






















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2002
Fathul Mufid, Drs. H., MSI. Kuliyah Filsafat Umum Inisnu Jepara 2012
gusdurian.net/news/2011/.../menggemakan_pemikiran_gus_dur.html
Hatta, M.  Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press & Tintamas, 1986), cet-3, hh. 1-2
Inggriani, Filsafat Kontemporer, Http://Www.Elearning.Gunadarma.Ac.Id/Docmodul
Ignas Kleden et.al. (eds.), Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, (Jakarta: Dian Rakyat, 1988), hh. 17-21
Muntansyir, Rizal, dkk. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta 1963, cet-2, h. 1
Subagio Sastrowardoyo dikutip dalam eseinya “Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya”, dalam S. Abdul Karim Mashad (ed.), Sang Pujangga : 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hh. 353-354
Syamsul Hadi, Tradisi Marxis dalam pemikiran Sukarno analisa filsafat tentang marhaenisme Perpustakaan Universitas Indonesia


[1] Fathul Mufid, Drs. H., MSI. Kuliyah Filsafat Umum Inisnu Jepara 2012
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2002
[3] Inggriani, Filsafat Kontemporer, Http://Www.Elearning.Gunadarma.Ac.Id/Docmodul

[4] Muntansyir, Rizal, dkk. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[5]  Muntansyir, Rizal, dkk. Filsafat Ilmu Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2004 http://www.elearning. gunadarma.ac.id/docmodul
[7] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta 1963, cet-2, h. 1
[8] Syamsu Hadi, Tradisi Marxis dalam pemikiran Sukarno analisa filsafat tentang marhaenisme Perpustakaan Universitas Indonesia
[9] Sebagaimana dikutip oleh Subagio Sastrowardoyo dalam eseinya “Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya”, dalam S. Abdul Karim Mashad (ed.), Sang Pujangga : 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hh. 353-354
[10] Ignas Kleden et.al. (eds.), Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, (Jakarta: Dian Rakyat, 1988), hh. 17-21
[11] M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press & Tintamas, 1986), cet-3, hh. 1-2
[12] Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20

[13] gusdurian.net/news/2011/.../menggemakan_pemikiran_gus_dur.html
[14] Fathul Mufid, Drs. H., MSI. Kuliyah Filsafat Umum Inisnu Jepara 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar