MAKALAH
FILSAFAT KONTEMPORER
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah :
FILSAFAT UMUM
Dosen Pengampu :
Drs. H. FATHUL MUFID,
MSI.
Disusun Oleh :
HAFIDHIN ( SEMESTER II )
AHAMAD BISRI ( SEMESTER
II )
INSTITUT ISLAM
NAHDLATUL 'ULAMA
( INISNU) JEPARA
FAKULTAS
TARBIYAH 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
tercipta diberi kelebihan diantara makhluk-makhluk lain yang berada di dunia
ini, yakni kemampuan berfikir yang luar biasa melalui akal pikiran dan budi
daya. Dengan akal pikiran manusia berfikir akan kebenaran serta daya kemampuan
untuk tetap surfive. Apabila akal dipergunakan secara mendalam, fundamental,
hakiki dan universal akan lahir apa yang dinamakan filsafat. Zaman sejarah
dimulai sejak manusia dapat mendokumentasikan hasil pemikian dan kebudayaan
atau peradaban, dari sini timbul sebuah metodologi tentang hasil pemikiran yang
biasa dikenal dengan filsafat.
Filsafat di
mulai sejak filsafat klasik meliputi filsafat yunani dan romawi pada abad ke-6
SM yang dipelopori oleh Tahles dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan
meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada
abad ke-15 M. Kemudian munculnya berbagai agama, seperti nasrani, islam dan
agama-agama dan kepercayaan dari India, Zaman modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh
Renaissance, Pada filsafat Rene Descartes(1596-1650) dan berakhir pada
pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi
seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.[1]
Zaman Kontemporer
dimulai pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat kontemporer memiliki sifat
yang sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin
besar. Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti
matematika, fisika, sosiologi, dan ekonomi.
Filsafat
Kontempoer Indonesia terlahir dari kritik kolonialisme, imperialisme dan
liberalisasi, dan lahirnya demokratisasi dan humanisme dalam segala aspek kehidupan, dalam bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Filsafat Kontemporer dan Periodesasi filsafat
2. Aliran-aliran
dan Tokoh Filsafat Kontemporer
3. Filsafat
Kontemporer Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian filsafat Kontemporer
Kata filsafat dalam bahasa arab berasal dari bahasa Yunani Philosophia
yang secara harfiah berarti cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan. Orang
yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos
atau dalam bahasa arab failosuf (filsuf). Pecinta pengetahuan atau
kebijakasanaan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan
tujuan hidupnya, atau orang yang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan,[2]
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala
sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Orang Yunani senang akan
kebijaksanaan yang selalu diarahkan kepada kepandaian secara teoretis dan
praktis. Kepandaian yang bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari
pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan ide yang tentunya sejalan dengan cara
pikir mereka. Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan
yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu.[3]
B. Periodesasi Filsafat
Dalam garis
besarnya Periodesasi filsafat terbagi atas 4 masa yang disusun secara ringkas
sebagai berikut :
1.
Filsafat Klasik atau filsafat Yunani
kuno 6 SM sampai 6 setelah masehi.
Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum untuk menjawab persoalan disekitar dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum untuk menjawab persoalan disekitar dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
2.
Zaman Pertengahan
Pada masa
ini, para ilmuwannya hampir semua adalah teolog, sehingga aktivitas ilmiah
berkaitan dengan aktivitas keagamaan..
3.
Zaman Modern
Dikenal juga
sebagai masa Rasionalisme, yang tumbuh di zaman modern dengan tokoh utama,
yaitu Rene Descartes (1596 – 1650) yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern,
Spinoza (1633 – 1677), dan Leibniz (1646 – 1716). Descartes memperkenalkan
metode berpikir deduktif logis yang umumnya diterapkan untuk ilmu alam.
4.
Kontemporer abad 20 sampai sekarang.
C. Aliran-aliran dan Tokoh Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
sifatnya heterogen. Para pelakon yang paling depan dalam filsafat adalah
Prancis, Inggris dan Jerman. Titik tekan pembahasannya terutama terletak pada
aliran-aliran filsafat.
Aliran-aliran
terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20 adalah pragmatisme, vitalisme,
fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme,
postmodernisme, dan semiotika.[4]
- Pragmatisme
Pragmatisme
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfaat secara
praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Populer di Amerika
Tokoh yang terpenting dalam aliran ini adalah William James (1842-1910).
Pragmatisme yang dimunculkannya terbagi menjadi enam hal : temperamen
filosofis, teori kebenaran, teori makna, holistik tentang pengetahuan, pandangan
metafisika, dan metode penyelesaian sengketa filosofis.
- Vitalisme
Vitalisme
berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip
vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi
terhadap perkembangan ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala
sesuatu dapat dianalisa secara matematis. Tokoh terpenting dalam vitalisme
adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia adalah salah satu filsuf yang paling
terkenal dan berpengaruh di Perancis pada akhir abad 19 – awal abad 20.
- Fenomenologi
Fenomenologi
berasal dari kata phenomenon yang berarti gejala atau apa yang tampak.
Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang
menampakkan diri. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl .
Edmund
Husserl (1859-1938) adalah pendiri aliran fenomenologi yang telah mempengaruhi
pemikiran filsafat abad 20 secara mendalam. Baginya, fenomena adalah realitas
sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek
dengan realitas, realitas sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl mengatakan
bahwa apa yang dapat kita amati hanyalah fenomena bukan sumber dari gejala itu
sendiri dan dari apa yang kita amati, terdapat beberapa hal yang membuatnya
tidak murni sehingga perlu diakan reduksi. Langkah – langkah yang harus
dilakukan adalah melakukan reduksi fenomenologi dan reduksi eiditis. Pandangan
Husserl mengenai fenomena ini, ia telah mengadakan semacam revolusi dalam
filsafat barat. Sejak masa Descrates, kesadaran selalu diartikan sebagai
kesadaran yang tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri merupakan satu
– satunya jalan untuk mengenal realitas. Namun, Husserl berpendapat bahwa
kesadaran terarah kepada realitas, sama artinya dengan realitas menampakan diri
sendiri. Inti dari pandangan Husserl adalah :
1.
Membebaskan diri dari unsur
subjektif
2.
Membebaskan diri dari kungkungan
teori-teori, dan hipotesis-hipotesis
3.
Membebaskan diri dari
doktrin-doktrin tradisional
- Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi. Sebenarnya, istilah eksistensialisme tidak menunjukan suatu sistem
filsafat secara khusus. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Benda mati dan
hewan tidak menyadari keberadaannya di dunia ini. Akan tetapi manusia sadar hal
tersebut. Itulah sebabnya, segala sesuatu mempunyai arti sejauh masih berkaitan
dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan arti kepada segala hal. Ada
beberapa hal yang dapat mengidentifikasikan ciri dari aliran eksistensialisme
ini :
1.
Eksistensialisme adalah
pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya
terhadap idealisme Hegel.
2.
Eksistensialisme adalah suatu proses
atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari
kehidupan konkrit.
3.
Eksistensialisme juga merupakan
pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman
industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
4.
Eksistensialisme merupakan protes
terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung
menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
5.
Eksistensialisme menekankan situasi
manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
6.
Eksistensialisme menekankan keunikan
dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Filsafat ini
bertitik tolak kepada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan
dengan ini mereka berepndapat bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi.
Tokoh yang penting
dalam filsafat eksistensialisme adalah Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre.
1.
Martin Heidegger (1883-1976)
Perhatian
utama dari seorang Heidegger adalah karyanya, “Being dan Time”, ia
mencoba untuk mengakses being (Sein) dengan melalui analisis
fenomenologis tentang eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter
duniawi dan sejarah manusia. Dalam karya-karyanya berikutnya, Heidegger
menekankan nihilisme masyarakat teknologi modern, dan berusaha untuk memenangkan
tradisi filsafat Barat kembali ke pertanyaan yang ada. Ia meletakkan penekanan
pada bahasa sebagai jalan untuk membuka pertanyaan tersebut. Tulisannya yang
sangat sulit. Namun, Being and Time tetap masih yang paling berpengaruh.
2.
John-Paul Sartre (1905-1980)
John-Paul
Sartre adalah seorang atheis dan satu – satunya filsuf kontemporer yang
menempatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Ia berpendapat bahwa
manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre
mengatakan,”Manusia bebas. Manusia adalah kebebasan.”
- Filsafat Analitis
Filsafat analitis atau filsafat bahasa merupakan
reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme. Para penganutnya
menyibukkan diri dengan menganalisa bahasa dan konsep-konsep. Aliran ini muncul
di Inggris dan Amerika Serikat sekitar tahun 1950. Tokoh penting dalam filsafat
ini adalah Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan
John Langshaw Austin.
- Strukturalisme
Strukturialisme
muncul di Prancis pada tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik,
psikiatri, dan sosiologi. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa
masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Berbeda dengan
filsafat eksistensialisme yang menekankan pada peranan individu,
strukturialisme memandang manusia “terkungkung” dengan berbagai truktur di
sekelilingnya. Maka kaum strukturalis menyibukkan diri dengan struktur –
struktur tersebut. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat
kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
1. Strukturalisme
adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik.
2. Strukturalisme
merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah
filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia,
sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik
struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam
kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan
tindakan manusia.
Tokoh–tokoh
yang memiliki peranan penting dalam filsafat strukturialisme adalah Levi
Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault.
1.
Claude Levi Strauss
Bagi
Strauss, “struktur” itu tidak identik dengan struktur empiris suatu masyarakat
tertentu, struktur itu tidak ada dalam realitas yang tampak. Dari ini, terdapat
kemenduaan Strauss antara jenis strukturalisme yang melihat struktur sebagai
suatu model abstrak yang dihasilkan dari analisis terhadap suatu fenomena
dengan pengertian struktur sebagai yang bersifat terner, yaitu yang secara
inheren mengandung sifat dinamis.
2.
Jacques Lacan
Lacan
membaca ulang karya Freud untuk meninjau ulang teori tentang
subjektivitas dasn seksualitas dan menghidupkan kembali sekumpulan konsep.
Kemudian Lacan mengemukakan pandangannya bahwa yang paling mneghambat
pengetahuan tentang cirri revolusioner dan subversif karya – karya Freud adalah
pandangan bahwa ego merupakan hal yang terpenting untuk memahami perilaku manusia.
3.
Michel Foucault (1926-1984)
ia
mengarahkan bahwa kita tidak dapat mereduksi praktek – praktek deskursif
menjadi disiplin akademik. Akan tetapi, praktek diskurtif adalah sebuah
keteraturan yang muncul dalam fakta artikulasi itu sendiri. Keteraturan suatu
diskursus itu bersifat tidak sadar.
- Semiotika
Semiotika
adalah teori tentang tanda dan penandaan. Seorang ahli semiotika seperti
Barthes dalam awal pemikirannya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam
kerangka penandaan. Melalui pendekatan semiotika yang didasarkan atas kerangka
linguistik Saussurean, kehidupan sosial menjadi pertarungan demi prestige
dan status; atau bisa juga ia menjadi tanda pertarungan ini. Semiotika juga
mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan.
1.
Roland Barthes
Barthes
adalah seorang ahli semiotika, seorang yang melihat bahasa sebagai yang
dimodelkan oleh teori Saussure tentang tanda yang melandasi pemahaman
structural kehidupan sosial dan kultur. Karya – karya Barthes sangat beragam,
berkisar dari teori semiotika, esai kritik sastra, telaah psikobiografis serta
karya–karya yang lebih bersidat pribadi. Gaya bahasa personifikasi menjadi ciri
khas dalam karyanya lebih lanjut.
2.
Ferdinand de Saussure
Saussurre
adalah seorang bapak strukturalisme dan linguistik. Hal pokok pada teorinya
adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan
setiap tanda itu tersusun dari dua bagian: penanda dan yang ditanda. Konsepnya
mengenai tanda menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan
realitas. Bahkan, secara lebih mendasar Saussure mengungkapkan suatu hal yang
bagi kebanyakan orang modern menjadi prinsip yang paling berpengaruh terhadap
teori linguistiknya
- Postmodernisme
Postmodernisme,
sangat popular pada penghujung abad ke-20 dan merambah ke berbagai bidang dan
disiplin filsafat dan ilmu pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi
terhadap modernisme dengan segala dampaknya. Modernisme dimulai oleh
Rene Descrates, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan
kemudian mengabdikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme.[5]
D. Pemikiran Islam Kontemporer
Perkembangan
pemikiran Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya, dapat
diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan, yaitu :
Pertama,
fundamentalis. Yaitu, model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin
Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia.
Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi
mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan
segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah
menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan
menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur'an dan Sunnah) dan
mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa'
al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan
modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.
Kedua,
tradisionalis ( salaf ). Yaitu, model pemikiran yang berusaha berpegang pada
tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah
diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang
hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini
dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Fundamentalis
membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin , sedang
tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga mereka bisa
menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. Hasan Hanafi pernah
mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada
ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
Ketiga, reformis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
Ketiga, reformis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
Keempat,
postradisionalis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisa
Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis
yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis
mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif,
sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.
Kelima,
moderinis. Yaitu, model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan
menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak
relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah
keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini
biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan
sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya,
kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum
salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli
zaman wa makan . Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa
lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf
menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak
kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.[6]
E. Filsafat Kontemporer Indonesia
Berdasarkan
periodesassi filsafat kontemporer yang terlahir pada abad XX terlahir adalah
era gerakan anti kolonisme dan keinginan kebebasan dalam segala hal. Filsuf Indonesia yang
hidup pada periode ini diantaranya adalah :
1.
Soekarno
Soekarno (1901-1970), salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pernah menjabat ketua pertama Partai Nasional Indonesia (PNI), pernah menulis satu artikel di koran harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926 dengan judul ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’. [7] Ir. Sukamo, yang di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Bung Karno, tidak hanya seorang negarawan atau politikus kaliber dunia. la juga merupakan seorang pemikir yang brilian dan berbobot. Salah satu hasil pemikirannya yang orisinal adalah Marhaenisme, suatu antitesa terhadap imperialisme. Sukarno menyusun Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia, yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.[8]
Soekarno (1901-1970), salah seorang pendiri Republik Indonesia dan pernah menjabat ketua pertama Partai Nasional Indonesia (PNI), pernah menulis satu artikel di koran harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926 dengan judul ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’. [7] Ir. Sukamo, yang di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Bung Karno, tidak hanya seorang negarawan atau politikus kaliber dunia. la juga merupakan seorang pemikir yang brilian dan berbobot. Salah satu hasil pemikirannya yang orisinal adalah Marhaenisme, suatu antitesa terhadap imperialisme. Sukarno menyusun Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia, yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.[8]
Dalam tulisan itu pula, Soekarno
menyambut baik aliran-aliran Barat seperti Marxisme dan Nasionalisme sebagai
aliran-aliran yang akan mengantar negara-negara Asia menuju kemerdekaannya.
2.
Sutan
Syahrir
Sutan Syahrir (1909-1966), salah
seorang pendiri Republik Indonesia dan pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI),
pernah menulis catatan harian selama pembuangannya di Banda Neira dan Boven
Digul sekitar tahun 1935 dan 1936. Dalam catatan hariannya tanggal 20 Juni
1935, Syahrir menulis : di sini sejak berabad-abad tidak ada kehidupan rohani,
tidak ada kehidupan budaya, tidak ada sama sekali kemajuan. Memang ada
pengungkapan seni Timur yang banyak dipuji-puji, akan tetapi apakah itu semua
tiada lain dari perkembangan yang tidak sempurna dari kebudayaan feodal, yang
tidak mungkin menjadi tempat berpegang bagi kita, orang-orang abad keduapuluh?
Apa bisanya wayang dengan segala lambang-lambangnya yang sahaja dan mistik
itu—yang sejajar dengan cerita-cerita kiasan (allegori) dan ilmu batin abad
menengah di Eropa—yang menyumbangkan sesuatu yang bersifat intelektual dan
kultural secara umum kepada kita? Kebutuhan rohani kita adalah kebutuhan abad
keduapuluh, masalah-masalah kita, pandangan kita adalah dari abad keduapuluh.
Selera kita bukan menuju kepada mistik, tetapi kepada kenyataan, kejelasan dan
kelugasan (realiteit, helderheid, zekelyheid) Pada hakekatnya kita tidak pernah
dapat menerima perbedaan esensial antara Timur dan Barat, tidak untuk hidup
kita, sebab untuk kebutuhan rohani kita, kita tergantung dari Barat, bukan
secara ilmiah saja, melainkan juga secara budaya umumnya…
Secara kultural kita lebih dekat
kepada Eropa dan Amerika daripada kepada Borobudur atau Mahabharata atau
kebudayaan Islam yang primitif di Jawa dan Sumatera. Apakah dasar kita, Barat
atau perkembangan elementer dari kebudayaan feodal yang masih diketemukan di
dalam masyarakat kita.[9]
3.
Sutan Takdir
Alisjahbana
Pada tahun 1935, dalam polemiknya
yang terkenal dengan sebutan ‘Polemik Kebudayaan’, Sutan Takdir Alisjahbana
(1908-1994) kembali mengritik Adat sebagai penyebab kekalahan Indonesia dari
kolonialisme Belanda. Kata Takdir Kalau dianalisa masyarakat kita kalah dengan
bangsa-bangsa lain di dunia, karena selama berabad-abad kia kurang memakai
otaknya, kurang egoisme (maksudnya yang sehat), kurang materialisme. Dalam hal
intellect berabad-abad bangsa kita parasiteren, hidup seperti benalu pada masa
yang silam. Bangsa kita tiada mengasah otaknya, tiada berusaha mendapat pikiran
sendiri, ia menjadi Sleurmens. Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat,
Individu harus dihidupkan sehidup-hidupnya, Keinsyafan akan kepentingan diri
harus disadarkan sesadar-sadarnya! Bangsa Indonesia harus dianjurkan
mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin! ke segala jurusan bangsa Indonesia
harus berkembang [10]
Dalam kacamata Takdir, Adat mengikat
individu dengan banyak ikatan, sehingga kepribadian orang Indonesia mati, semati-matinya.
Supaya jiwa orang Indonesia hidup kembali, Takdir menganjurkan adopsi
individualisme dan materialisme Barat. Bahwa ‘Indonesia’, terlebih lagi ‘Bahasa
Indonesia’, merupakan proyek filsuf modernist yang sungguh bertujuan untuk
menghilangkan sisa-sisa otoritas Adat dalam Bahasa Daerah.
4.
Mohammad
Hatta
Di masa pembuangannya, Mohammad
Hatta (1902-1980) menulis buku daras filsafat mengenai Filsafat Barat Klasik berjudul
Alam Pikiran Yunani (1941). Walaupun Hatta memuji Filsafat Yunani dalam
karyanya itu, mudah diterka bahwa Hatta sesungguhnya menjuruskan kritiknya
kepada Adat.
Dongeng dan takhyul yang dipusakakan
dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin
jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah
banyak, Semuanya masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut
kultur.[11]
5.
Muhammad
Yamin
Muhammad Yamin (1903-1962), adalah seorang
konseptor Konstitusi RI, berhasil memasukkan Rasionalisme—suatu aliran dalam
Filsafat Barat Modern—ke dalam filsafat negara yang kini disebut ‘Pancasila’,
yakni pada ‘Sila Keempat’ yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan…’ ‘Hikmat kebijaksaan’, rupanya, adalah terjemahan Yamin dari istilah Inggris
‘Filsafat Rasionalisme’[12].
6.
KH.
Abdurrohman Wahid ( Gus Dur )
Di lingkungan umat Islam terlebih
kaum Nahdhiyyin, Gus Dur berfungsi sebagai pendobrak kebekuan berfikir. Ia tak
menutup pintu bagi filsafat dalam Islam. Itu sebabnya, ia mengintroduksi
diskursus filsafat ke dalam publik Islam Indonesia. Ia tak hanya membaca
al-Ghazali yang menampik filsafat, tapi juga melahap Ibn Rushd yang menerima
filsafat. Bahkan, Gus Dur antusias untuk bertamu ke kedai orang-orang seperti
al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani
seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membacai karya-karya
Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.
Gus Dur melakukan dinamisasi
pemikiran Islam. Ia pun melakukan kritik sangat tajam terhadap kemandegan
pemikiran Islam. Ushul fikih yang dalam sejarahnya merupakan proses kreatif
untuk mendinamisasi fikih Islam, dalam perkembangannya, menurut Gus Dur, telah
menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan memandulkan kreativitas.
Akibatnya, umat Islam berwawasan sempit dan sangat ekslusif. Umat Islam menjadi
beban bagi kebangunan peradaban Islam. Aktivitas istinbath tak bisa
dilangsungkan, karena para ulamanya telah terperangkap dalam gubahan fikih
lama. Berbagai upaya untuk mengaransemen fikih Islam selalu ditolak.
Walau tak dikenal sebagai pakar fikih, Gus Dur turun
tangan membenahi fikih Islam yang “mogok” di tengah jalan itu. Ia meminta agar
teks keagamaan yang diduga kuat akan membentur HAM, pluralisme dan nilai-nilai
demokrasi untuk ditafsir ulang, mulai dari soal terminologi murtad hingga soal
kafir. Gus Dur berdebat sengit dengan sekelompok umat Islam yang menggolongkan
orang-orang non-Muslim Indonesia sebagai kafir dzimmi yang rendah bahkan harbi
yang boleh diperangi. Gus Dur pun menafsir ulang pengertian al-maqashid
al-syar’iyah atau al-dlaruriyat al-khms (lima prinsip dasar Islam). Di
antaranya, hifdz al-din diartikan Gus Dur dengan kebebasan beragama, hifdz
al-aql dengan kebebasan berfikir.[13]
Periodisasi
Filsafat Indonesia juga dapat dibuat berdasarkan kejadian-kejadian penting
dalam perjalanan sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode
Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto.
Atau bila mengikuti periodesasi klasik, pertengahan, modern dan kontemporer
yang menjadi pertanyaan kapankah periode Klasik dari Filsafat Indonesia itu?
Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik dari Filsafat Indonesia adalah periode
yang dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M,
lalu periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser,
dan periode Kontemporer sejak Soeharto lengser hingga detik ini.
Setelah diamati filsuf Indonesia paska
kejatuhan Soeharto hanyalah KH. Abdurrohman Wahid, karena tokoh yang ada
sekarang lebih banyak menjadi seorang ilmuwan/ cendikiawan, agamawan dan politisi[14]
BAB III
PEUTUP
1. Kesimpulan
Filsafat Kontemporer yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut
kehidupan pada masa saat ini. Aliran, Aliran yang Berpengaruh dalam filsafat
kontemporer yaitu pragmatisme, vitalisme, fenomenologi,
eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan
semiotika
Pragmatisme,
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfaat secara
praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Populer di
Amerika. Tokohnya William James dan John Dewey.
Vitalisme,
berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip
vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Tokohnya Henri Bergson.
Fenomenologi, adalah
aliran yang membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Tokohnya
Max Sch Edmund Husserl .
Eksistensialisme, aliran ini memandang
segala gejala denga berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada
di dunia. Eksistensi mendahului esensi. Bungkus mendahului isi. Tokohnya adala Martin
Heidegger dan Jean Paul Sartre.
Filsafat analitis atau disebut
juga filsafat bahasa. Para penganutnya menyibukkan diri denga analisa bahasa
dan konsep-konsep. Tokohnya Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951),
Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin
Strukturalisme, pada
dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama
dan tetap. Mereka menyibukkan diri dengan struktur-struktur tersebut. Tokohnya,
Levi
Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault
Semiotika adalah
teori tentang penandaan. awal pemikirannya melihat kehidupan sosial dan
kultural dalam kerangka penandaan. ahli semiotika adalah Barthes
Postmodernisme
adalah
reaksi dari modernisme. Postmodern mengakui relativisme, dan pluralisme.
Tokohnya, Rene Descrates, Jacques Derrida.
Filsafat Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya,
dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan yaitu fundamentalis,
tradisionalis (salaf), reformis, postradisionalis, dan moderinis.
Filsafat kontemporer Indonesia abad XX terlahir pada waktu gerakan
anti kolonisme dan keinginan kebebasan dalam segala hal. Filsuf Indonesia yang
hidup pada periodesasi kontemporer diantaranya adalah : Ir. Soekarno, Sutan
Sahrir, Sutan Takdir Alisyabana, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, dan KH.
Abdurohman Wahid, namun dalam periodesasi filsafat kontemporer Indonesia,
dimulai sejak kejatuhan Soeharto dari presiden Republik Indonesia yaitu taun
1998 berarti yang masuk filsuf kontemporer Indonesia adalah KH. Abdurroman
Wahid.
2. Kritik dan Saran
Syukur alhamdulillah, makalah filsafat kontemporer ini dapat diselesaikan,
walaupun masih banyak kekurangan di mana-mana, ole karena itu segala kritik dan
saran diharapkan dari semua fihak, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan
Nasional, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2002
Fathul Mufid, Drs. H., MSI. Kuliyah Filsafat Umum Inisnu
Jepara 2012
gusdurian.net/news/2011/.../menggemakan_pemikiran_gus_dur.html
Hatta, M. Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI
Press & Tintamas, 1986), cet-3, hh. 1-2
Inggriani, Filsafat Kontemporer, Http://Www.Elearning.Gunadarma.Ac.Id/Docmodul
Ignas Kleden et.al. (eds.), Kebudayaan
sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana,
(Jakarta: Dian Rakyat, 1988), hh. 17-21
Khudori Soleh, A
Pemikiran Islam Kontemporer, http://id.shvoong.com/books/
dictionary/1840414-pemikiran-islam-kontemporer/#ixzz3pV3S2qD6
Muntansyir, Rizal, dkk. 2004. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,
Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta 1963, cet-2, h. 1
Subagio Sastrowardoyo dikutip dalam
eseinya “Sikap Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya”,
dalam S. Abdul Karim Mashad (ed.), Sang Pujangga : 70 Tahun Polemik
Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hh. 353-354
Syamsul Hadi, Tradisi Marxis
dalam pemikiran Sukarno analisa filsafat tentang marhaenisme Perpustakaan
Universitas Indonesia
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi
Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2002
[5]
Muntansyir, Rizal, dkk. Filsafat
Ilmu Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2004 http://www.elearning. gunadarma.ac.id/docmodul
[6] A Khudori Soleh, Pemikiran
Islam Kontemporer, http://id.shvoong.com/books/dictionary/1840414-pemikiran-islam-kontemporer/#ixzz3pV3S2qD6
[7] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera
Revolusi, Jakarta 1963, cet-2, h. 1
[8] Syamsu Hadi, Tradisi Marxis dalam pemikiran Sukarno analisa filsafat
tentang marhaenisme Perpustakaan Universitas Indonesia
[9] Sebagaimana dikutip oleh Subagio Sastrowardoyo dalam eseinya “Sikap
Budaya Takdir dalam Polemik Kebudayaan serta Pengaruhnya”, dalam S. Abdul
Karim Mashad (ed.), Sang Pujangga : 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong
Satu Abad S. Takdir Alisjahbana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hh.
353-354
[10]
Ignas Kleden et.al. (eds.), Kebudayaan
sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana,
(Jakarta: Dian Rakyat, 1988), hh. 17-21
[12] Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20
[13] gusdurian.net/news/2011/.../menggemakan_pemikiran_gus_dur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar